Villa Kelapa Dua yang dikelola penduduk setempat. Unik tidak bentuk bangunannya? |
Kebanyakan orang yang
mempunyai hobby travelling sepertinya akan lebih memilih tujuan yang populer
dan mudah diakses ketimbang harus menyusuri wilayah terpencil dan berada di pedalaman.
Namun kali ini, kami merasakan hal sebaliknya. Angin petualangan kembali
bertiup menebarkan aroma sebuah wilayah desa perbatasan darat dan laut antara
Republik Indonesia dengan Malaysia .
Desa yang seakan terlupakan sebagai beranda wilayah negara. Desa yang belum
bisa terhubung dengan wilayah luar karena ketiadaan akses telekomunikasi. Temajuk,
begitulah desa itu disebut.
Perjalanan ke Temajuk dimulai dari titik keberangkatan di kota Sambas.
Sungguh bukan perjalanan yang nyaman. Jika musim kemarau jalanan akan lebih
padat namun berdebu pekat. Adapun di musim hujan seperti sekarang ini jalanan
menjadi kolam lumpur dengan kubangan mengaga di tengah. Berbicara mengenai
waktu tempuh pun akan tercipta versi berbeda akan lamanya perjalanan. Dalam
versi kami, di musim kemarau waktu tempuh akan terasa lebih singkat, sekitar 4
jam. Sedangkan di musim hujan perjalanan akan lebih lama 2 jam karena kendala
buruknya akses dan diselingi dengan singgah dan berteduh.
Moda transportasi yang kami gunakan adalah kendaraan roda dua untuk
memudahkan aksesibilitas selama perjalanan. Rute pertama dari Sambas menuju
dermaga penyeberangan speedboat di Tanjung akan melalui jalan beraspal dengan
lubang dimana-mana. Speedboat akan membawa penumpang beserta motor menyeberangi
Sungai Sambas menuju dermaga Teluk Kalong. Sebenarnya disini ada beberapa
pilihan untuk menyeberangi sungai. Pertama adalah kapal ferry milik PT. ASDP.
Namun tidak kami pilih karena lamanya waktu tunggu. Kedua adalah kapal motor
berlabel KM GIAT, lagi-lagi tidak kami pilih karena akan memperlambat
perjalanan karena harus mengitari kota Sekura. Pilihan kami jatuh pada
speedboat karena lebih cepat dan tidak lama menunggu.
Perjalanan dari Teluk Kalong lantas dilanjutkan via darat menuju Desa
Setinggak. Kondisi jalan sudah beraspal dan lumayan baik untuk dilalui. Meski
demikian, kewaspadaan masih sangat diperlukan karena ada kerusakan jalan dan
perbaikan jembatan di beberapa tempat. Hal lainnya adalah ramainya anak-anak
dan terutama kebiasaan masyarakat sekitar yang sepertinya hobby nongkrong di
tepi jalan. Sesampainya di Desa Setinggak jalan darat berakhir dan harus
dilanjutkan menggunakan kapal speedboat bermesin tunggal berkapasitas motor 8 unit, beserta
penumpang dan muatan. Tidak ada pilihan lain alih-alih memilih jembatan yang entah kapan akan dibangun. Menyeberangi Sungai Paloh yang berarus tenang dan
berhiaskan vegetasi Bakau/Mangrove yang dominan membutuhkan waktu sekitar 15
menit.
Foto di atas kapal penyebrangan Desa Cermai |
Begitu mencapai daratan di Desa Cermai, nampak oleh kami orang-orang yang
tengah sibuk bertelepon. Inilah desa terakhir terhitung dari ibukota Kabupaten
Sambas yang bisa menjangkau sinyal seluler. Itupun hanya sinyal dua operator
besar berwarna Merah dan Kuning. Di ujung dermaga terdengar oleh kami suara seorang
pria dengan dialek Melayu Sambas yang begitu kental, mengabarkan bahwa ia akan
segera pulang menjumpai keluarganya. Ada raut bahagia di wajahnya ketika ia
mendengar bahwa istrinya di kota sudah melahirkan.
Kami tidak berlama-lama di Desa Cermai. Setelah mengisi bahan bakar perjalanan dilanjutkan. Jalan
beraspal sangat membantu laju kendaraan. Namun 30 menit setelahnya, jalan aspal
pun berakhir digantikan oleh jalan semen yang rusak dan genangan air di setiap
2 dan 3 meter di depan. Ujian di perjalanan masih belum berakhir karena hujan
yang membuat jalan tanah kuning menjadi becek dan super licin. Belum lagi
ditambah dengan melewati jembatan darurat yang dibuat atas inisiatif warga
untuk melewati kolam-kolam genangan air di sepanjang perlanan. Kesigapan
pengendara untuk mengenali medan jalan dan keterampilan mengendalikan kendaraan
menjadi mutlak.
Motor menerjang kubangan air |
Pantai Tanjung Bendera |
Memasuki wilayah Desa Temajuk, kami menyempatkan diri untuk singgah di
Pantai Tanjung Bendera, pantai berpasir halus dengan berhiaskan pohon cemara di
sekitarnya. Jika beruntung terkadang akan muncul kawanan monyet berekor panjang
(Macaque) yang seakan penasaran dan ingin
melihat aktivitas manusia. Cuaca pada saat itu sayangnya mendung dan
menyurutkan niat kami untuk menikmati moment matahari terbenam di pantai.
Motor kembali dipacu. Sekitar 40 menit perjalanan terlihat Tugu Pancasila
yang berdiri kokoh. Sayapnya mantap terbentang seakan menyambut siapapun yang
berkunjung ke sana. Konon, tugu ini dibangun untuk menyadarkan semua komponen
masyarakat bahwa NKRI adalah negara yang berasaskan Pancasila dengan semboyan
penyemangat berbunyi “BHINEKKA TUNGGAL IKA”. Berfoto-foto sebentar pun
dilakukan sebagai kenangan untuk kelak dengan bermodal sebuah kamera DSLR.
Tidak lupa melirik arloji dan waktu saat itu pun menunjukkan pukul 17 : 32 WIB.
Artinya kami masih membutuhkan waktu sekitar 30 menit untuk sampai di Temajuk.
Tugu Pancasila di desa Temajuk |
Mengantisipasi datangnya gelap, gangguan serangga, binatang liar, dan
kemungkinan buruk lainnya di jalan, kami segera berbegas meninggalkan Tugu
Pancasila. Kali ini sedikit melalui jalan berlumpur karena 20 menit setelahnya,
motor sudah berada di jalan beraspal. Alangkah senangnya ketika Tugu NKRI di
Temajuk sudah terlihat. Ini artinya kami sudah berada di beranda depan negara.
Beberapa waktu lalu santer diberitakan
bahwa wilayah Indonesia di Dusun Camar Bulan, Desa Temajuk, Kabupaten Sambas,
Kalimantan Barat, dicaplok Malaysia. Desa Temajuk memang desa nun jauh di sana
yang terkesan diabaikan pemerintah. Infrastruktur yang masih minim menjadi indikator utama.
Akses jalan yang buruk, gedung sekolah yang tidak memadai, ketidaksediaan
fasilitas kesehatan, minimnya listrik, dan tidak adanya sinyal untuk
bertelekomunikasi.
Fakta mengenai tidak adanya sinyal
seluler di Temajuk benar adanya. Telepon seluler kini bukanlah barang mewah lagi.
Namun apalah gunanya jika telepon
seluler disana tidak bisa digunakan untuk komunikasi jarak dekat maupun jarak
jauh. Penduduk sekitar bahkan mengatakan bahwa untuk menelepon mereka harus
menyeberang ke negeri tetangga, tentunya dengan simcard Malaysia. Itupun harus
di beberapa tempat tertentu. Sungguh sebuah ironi, mengingat bahwa tanggal 17
Agustus 2015 nantinya Indonesia akan merayakan Hari Kemerdekaan yang ke 70.
Malam pertama sesampainya kami di Temajuk kami menginap di rumah milik keluarga
Bapak Saman. Rumah ini terletak tidak jauh dari tepian pantai. Keluarga ini
begitu hangat menyambut kedatangan kami dan sigap menyiapkan kebutuhan selama
kami berada di sana. Sang istri pun nampak sibuk di dapur menyiapkan makanan
dan minuman. Semangkuk besar sup daun melinjo, mie instan, dan sambal lada yang
beraroma khas tersaji sebagai menu makan malam terasa hangat di tubuh. Sungguh
begitu hangat, sehangat ketulusan dan kebaikan keluarga ini kepada kami. Hujan
pun turun demikian derasnya. Gelombang laut terdengar begitu kuat menghantam
karang. Angin berdesir kencang menggesek daun-daun nyiur di belakang rumah.
Itulah yang membuat kami mengurungkan niat kami berburu kepiting batu. Alhasil
kami menghabiskan malam di rumah sambil berbincang ringan, ada yang bermain
kartu, dan ada yang memilih berbaring meluruskan pinggang.
Pantai Teluk Atong |
Pagi keesokan harinya, matahari di Temajuk masih enggan menunjukkan diri.
Hujan rintik-rintik masih membahasi rerumputan datar di pekarangan rumah.
Butiran embun menempel di daun dan menetes cepat tersapu hembusan angin. Pagi
itu begitu sejuk. Terlihat ada di antara kami yang masih tertidur pulas dan
asyik membenamkan diri dalam kain selimut. Keasyikan tersebut berakhir saat hujan
reda. Kami semua bersepakat turun ke pantai dan menyeberang ke negara tetangga.
Segera kami bersiap-siap berangkat dan tidak lupa sarapan pagi untuk mengisi
perut.
Deburan Ombak di Teluk Atong |
Pantai Teluk Atong hanya berjarak 5 menit menggunakan motor dari rumah Pak Saman, tempat
kami menginap. Pantai ini sebetulnya berair bening. Namun di musim hujan ketika
gelombang begitu kuat, air pantai berubah sedikit keruh bercampur pasir yang
tergulung ombak. Karang-karang terhampar di sekitar pantai. Agak menjorok ke
bibir pantai, batu-batu besar kokoh menjulang. Pohon pinus berdiri tegak
memberikan kesan hijau segar di penghilatan. Burung-burung camar laut terbang
rendah mengitari wilayah pantai. Begitulah damainya pagi itu. Larutlah kami
dalam suasana pantai yang begitu syahdu. Seakan lupa akan rutinitas dan
kesibukan di kota besar.
Papan Petunjuk Manual menuju perbatasan dengan Malaysia |
Petualangan dilanjutkan ke negara tetangga Malaysia. Tidak lama untuk bisa
sampai ke Teluk Melano di seberang sana. Dengan kendaraan bermotor hanya
dibutuhkan 20 menit. Sebuah pepatah lama yang berbunyi ”Rumput tetangga lebih
hijau” cocok untuk menggambarkan kondisi di sana. Memasuki wilayah Malaysia,
ternyata jauh dari bayangan sebelumnya yang dijaga banyak tentara. Di Temajuk,
perbatasan hanya dijaga portal selebar dua meter. Di gerbang terdapat tulisan:
Selamat Jalan, Doa Kami Menyertai Anda. Sedangkan dari Malaysia tulisannya:
Selamat Datang di Indonesia, Desa Temajuk, Kecamatan Paloh, Kabupaten Sambas. Di Teluk Melano, pos jaga milik pemerintah Malaysia yang dijaga oleh
tentara terlihat sangat apik dan representatif. Saat sepeda motor yang kami
kendarai melintas di depan pos itu, tidak ada seorang pun tentara yang
menghadang. Mereka hanya melempar senyum sebagai tanda boleh menginjakkan kaki
di Malaysia. Berdasarkan informasi singkat yang kami dapatkan, di sana juga
bisa ditemukan juga sebuah sekolah modern dan luas. Sekolah ini punya 6 kelas dengan
jumlah siswa hanya 56 orang dan guru yang mengajar sampai 12 orang belum
termasuk kepala sekolah dan penjaga sekolah. Bandingkan dengan sekolah yang
berada di desa Temajuk, sarana dan pra sarananya masih memprihatinkan.
Pos Perbatasan RI - Malaysia, Teluk Melano. |
Tujuan utama kami kali ini sebenarnya adalah ke pantai di wilayah Tanjung
Datuk, wilayah perbatasan laut Indonesia dengan Malaysia. Pantai Tanjung Datuk
sering disebut ”Surga di Ekor Kalimantan Barat”. Batu-batu besar yang
berserakan persis di ekor Pulau Kalimantan semakin menambah eksotisme alam di
sana. Lokasinya berhadapan langsung dengan Laut Natuna dan Laut Cina Selatan, dan
sangat cocok untuk fishing, snorkeling,
scuba diving, dan aktivitas penyelaman. Terumbu karang di Tanjung Datuk juga
merupakan rumah bagi sejumlah ikan-ikan berwarna-warni. Daerah Tanjung Datuk
masih begitu asri dan belum dieksplorasi secara keseluruhan. Di Tanjung Datuk
ini terdapat patok batu koordinat berbentuk persegi. Patok tersebut memuat angka-angka titik koordinat yang menjadi
penanda batas antara Indonesia dan Malaysia yang didasarkan pada kesepakatan
antara Inggris (penjajah malaysia) dan Belanda (penjajah Indonesia). Sebuah
mercusuar tinggi juga berdiri di atas bukit. Untuk mencapai tempat tersebut,
kami harus mendaki lereng bukit dengan kemiringan sekitar 45 derajat. Terdapat
empat bangunan mercusuar di atas bukit kawasan Tanjung Datuk, dua mercusuar
milik Malaysia yang salah satunya sudah tidak lagi beroperasi, dan dua milik
Indonesia yang salah satunya sedang dibangun. Mercusuar milik Indonesia yang
sedang dibangun berbentuk seperti menara pemancar gelombang radio yang sangat
tinggi. Pembangunan mercusuar ini mungkin merupakan niat Pemerintah Indonesia yang
ingin lebih serius memperhatikan tapal batas menyusul lepasnya Pulau Ligitan
dan Pulau Sipadan ke tangan negeri jiran Malaysia belasan tahun silam, tepatnya
17 Desember 2002.
Dalam kunjungan sebelumnya kami sempat mengikuti kegiatan melaut nelayan
Desa Temajuk dan diakhiri dengan acara fish barbeque, berbekal hasil tangkapan
nelayan. Namun kali ini kami kurang beruntung karena cuaca sedang tidak
bersahabat. Tidak apalah, dalam hati kami bergumam. Akan ada kesempatan lain di
kemudian hari.
Puas menikmati panorama negara tetangga, kami bertolak kembali ke Indonesia.
Hujan deras pun mengguyur sesampainya kami ke rumah. Istri Bapak Saman ternyata sudah menyiapkan kue
gelang-gelang (donat tradisional) dan segelas besar kopi panas untuk kami.
Begitu sempurna nya kedua menu itu menjadi teman penghangat di hari hujan. Sore
harinya, hujan pun reda dan kami diajak putra Bapak Saman, Sagus untuk bermain
volly di lapangan desa. Kami yang merupakan tamu pendatang sontak menjadi pusat
perhatian warga desa. Tanpa basa basi kami pun main bergabung, larut dalam
suasana permainan yang begitu terasa menyenangkan meskipun dengan kemampuan
yang tidak begitu mahir. Sebuah bentuk sosialisasi dan kekeluargaan tercipta di
antara himpitan dunia nyata yang semakin apatis. Adakalanya benar bahwa
kehidupan desa lebih baik untuk memperbaiki hubungan sosial antar manusia.
Permainan diakhiri begitu menjelang adzan Maghrib karena penduduk Temajuk
merupakan umat muslim. Kami pun bergegas pulang meninggalkan lapangan
permainan.
Kehidupan malam di Temajuk pun segera dimulai. Rumah tanpa listrik adalah
bentuk ujian bagi penduduk desa. Tidak ada pembangkit tenaga listrik yang
bersifat massal di daerah ini. Menurut warga, dulu memang pernah ada bantuan
pembangkit listrik tenaga air, namun alat itu tidak dapat bertahan lama karena
disambar petir. Kemudian sampai saat ini, pembangkit itu tak kunjung diperbaiki
atau diganti oleh Pemerintah Indonesia. Sementara itu, di desa tetangga, Desa
Maludin terdapat generator listrik yang digerakkan oleh angin, matahari dan
diesel. Ketiga sistem itu bekerja secara otomatis dalam kondisi cuaca yang
sesuai untuk menggerakkan generator itu. Misalnya ketika angin tersedia cukup
maka generator itu digerakkan oleh angin. Lalu jika sinar matahari sangat
terang dan cukup maka generator itu digerakkan oleh sinar surya. Jika keduanya
dalam keadaan kurang baik maka generator itu digerakkan oleh tenaga diesel.
Untuk mengusir sepi, kami meramaikan keremangan di rumah dengan bermain
gitar dan sebagian bermain kartu. Salah seorang dari kami pun tidak canggung
menunjukkan kemampuan sulap yang dimiliki olehnya. Berbagai trik sulap yang
dikuasainya dipertontonkan kepada kami dan sang tuan rumah. Muncul ekspresi
riang, terkagum-kagum, tertawa lepas, dan wajah heran sedikit berpikir keras
bagaimana trik itu dilakukan. Demikian kami melewati malam terkahir kami disana
hingga hujan deras pun turun dan menambah dinginnya hawa sekitar. Tikar digelar
dan kami pun larut dalam buaian angin malam.
Dermaga Camar Bulan |
Keesokan harinya sebelum pulang, kami menuju ke jembatan Desa Camar Bulan
untuk berfoto ria dengan berbagai rupa mimik wajah dan pose yang ditampan-tampankan.
Pagi itu langit masih saja mendung dan angin bertiup sama kencangnya dengan
pagi sebelumnya. Ada sebuah nuansa sedikit muram di angkasa yang menjadi latar
belakang kami berfoto. Jika dibalut dengan keterampilan fotografi yang handal,
latar belakang tersebut akan terkesan eksotis.
Puas mengambil gambar dan berfoto, kami pulang ke rumah dan mulai mengemas
segala perlengkapan yang kami bawa. Tuan rumah yang khawatir kami bakal lapar
di perjalanan kemudian bergegas menghidangkan mie instan. Jadilah kami makan
sebelum meninggalkan Desa Temajuk.
Seorang bapak yang berbaik hati membantu kami melewati kubangan |
Ada perjumpaan, ada pula perpisahan. Demikian pula dengan kunjungan kami kali ini di Temajuk. Dari
awal sampai kepulangan, kami disambut dengan sangat baik oleh keluarga Bapak
Saman. Membuat kaki kami terasa berat untuk digerakkan melangkah keluar dari
pekarangan rumah. Namun apa boleh dikata, karena ada pekerjaan di kota kami
tidak bisa berlama-lama di sana. Perjalanan yang cukup panjang pun segera
dimulai melewati rute yang sama dengan rute kedatangan. Jalan masih saja
dipenuhi kubangan air dan becek akibat hujan semalam. Ada saatnya kami menemui
kesulitan melewati jalan penuh air dan penduduk sekitar yang melintas bersamaan
tanpa sungkan membantu kami melewatinya. Padahal kenal dengan kami saja tidak.
Sekali lagi, Temajuk menorehkan kesan mendalam akan fitrah manusia sebagai
makhluk sosial.
Kami akan merindukan Akbar dan Keluarga di Temajuk |
Semoga benar di kemudian hari Temajuk dapat diabadikan dalam sebuah
gambar sebagai surga. Surga eksotis yang dapat dieksplorasi setiap sudut
panoramanya. Surga yang akan menjadi agenda wajib dalam daftar kunjungan
wisata. Sebuah surga yang menawarkan
keindahan alami, walau harus menempuh jalur ‘neraka’ untuk menemukannya. Semoga
desa ini bisa menjadi salah satu destinasi wisata pantai, yang tentunya harus
ditunjang dengan infrastruktur & akses jalan yang layak, dimana anda dan keluarga
bisa dengan mudah berlibur ke sana. Akhir kata, datanglah ke Temajuk dan
nikmatilah keindahan panoramanya.
Salam Petualangan,
Tihany
No comments:
Post a Comment