Tuesday, June 30, 2015

TEMAJUK : POTRET KEHIDUPAN DAN PANORAMA DI UJUNG NEGERI



Villa Kelapa Dua yang dikelola penduduk setempat. Unik tidak bentuk bangunannya?
Kebanyakan orang yang mempunyai hobby travelling sepertinya akan lebih memilih tujuan yang populer dan mudah diakses ketimbang harus menyusuri wilayah terpencil dan berada di pedalaman. Namun kali ini, kami merasakan hal sebaliknya. Angin petualangan kembali bertiup menebarkan aroma sebuah wilayah desa perbatasan darat dan laut antara Republik Indonesia dengan Malaysia. Desa yang seakan terlupakan sebagai beranda wilayah negara. Desa yang belum bisa terhubung dengan wilayah luar karena ketiadaan akses telekomunikasi.  Temajuk, begitulah desa itu disebut.

Perjalanan ke Temajuk dimulai dari titik keberangkatan di kota Sambas. Sungguh bukan perjalanan yang nyaman. Jika musim kemarau jalanan akan lebih padat namun berdebu pekat. Adapun di musim hujan seperti sekarang ini jalanan menjadi kolam lumpur dengan kubangan mengaga di tengah. Berbicara mengenai waktu tempuh pun akan tercipta versi berbeda akan lamanya perjalanan. Dalam versi kami, di musim kemarau waktu tempuh akan terasa lebih singkat, sekitar 4 jam. Sedangkan di musim hujan perjalanan akan lebih lama 2 jam karena kendala buruknya akses dan diselingi dengan singgah dan berteduh.

Moda transportasi yang kami gunakan adalah kendaraan roda dua untuk memudahkan aksesibilitas selama perjalanan. Rute pertama dari Sambas menuju dermaga penyeberangan speedboat di Tanjung akan melalui jalan beraspal dengan lubang dimana-mana. Speedboat akan membawa penumpang beserta motor menyeberangi Sungai Sambas menuju dermaga Teluk Kalong. Sebenarnya disini ada beberapa pilihan untuk menyeberangi sungai. Pertama adalah kapal ferry milik PT. ASDP. Namun tidak kami pilih karena lamanya waktu tunggu. Kedua adalah kapal motor berlabel KM GIAT, lagi-lagi tidak kami pilih karena akan memperlambat perjalanan karena harus mengitari kota Sekura. Pilihan kami jatuh pada speedboat karena lebih cepat dan tidak lama menunggu.

Perjalanan dari Teluk Kalong lantas dilanjutkan via darat menuju Desa Setinggak. Kondisi jalan sudah beraspal dan lumayan baik untuk dilalui. Meski demikian, kewaspadaan masih sangat diperlukan karena ada kerusakan jalan dan perbaikan jembatan di beberapa tempat. Hal lainnya adalah ramainya anak-anak dan terutama kebiasaan masyarakat sekitar yang sepertinya hobby nongkrong di tepi jalan. Sesampainya di Desa Setinggak jalan darat berakhir dan harus dilanjutkan menggunakan kapal speedboat bermesin  tunggal berkapasitas motor 8 unit, beserta penumpang dan muatan. Tidak ada pilihan lain alih-alih memilih jembatan yang entah kapan akan dibangun. Menyeberangi Sungai Paloh yang berarus tenang dan berhiaskan vegetasi Bakau/Mangrove yang dominan membutuhkan waktu sekitar 15 menit.

Foto di atas kapal penyebrangan Desa Cermai
Begitu mencapai daratan di Desa Cermai, nampak oleh kami orang-orang yang tengah sibuk bertelepon. Inilah desa terakhir terhitung dari ibukota Kabupaten Sambas yang bisa menjangkau sinyal seluler. Itupun hanya sinyal dua operator besar berwarna Merah dan Kuning. Di ujung dermaga terdengar oleh kami suara seorang pria dengan dialek Melayu Sambas yang begitu kental, mengabarkan bahwa ia akan segera pulang menjumpai keluarganya. Ada raut bahagia di wajahnya ketika ia mendengar bahwa istrinya di kota sudah melahirkan.

Kami tidak berlama-lama di Desa Cermai. Setelah mengisi bahan bakar perjalanan dilanjutkan. Jalan beraspal sangat membantu laju kendaraan. Namun 30 menit setelahnya, jalan aspal pun berakhir digantikan oleh jalan semen yang rusak dan genangan air di setiap 2 dan 3 meter di depan. Ujian di perjalanan masih belum berakhir karena hujan yang membuat jalan tanah kuning menjadi becek dan super licin. Belum lagi ditambah dengan melewati jembatan darurat yang dibuat atas inisiatif warga untuk melewati kolam-kolam genangan air di sepanjang perlanan. Kesigapan pengendara untuk mengenali medan jalan dan keterampilan mengendalikan kendaraan menjadi mutlak.

Motor menerjang kubangan air
Pantai Tanjung Bendera
Memasuki wilayah Desa Temajuk, kami menyempatkan diri untuk singgah di Pantai Tanjung Bendera, pantai berpasir halus dengan berhiaskan pohon cemara di sekitarnya. Jika beruntung terkadang akan muncul kawanan monyet berekor panjang (Macaque) yang seakan penasaran dan ingin  melihat aktivitas manusia. Cuaca pada saat itu sayangnya mendung dan menyurutkan niat kami untuk menikmati moment matahari terbenam di pantai.

Motor kembali dipacu. Sekitar 40 menit perjalanan terlihat Tugu Pancasila yang berdiri kokoh. Sayapnya mantap terbentang seakan menyambut siapapun yang berkunjung ke sana. Konon, tugu ini dibangun untuk menyadarkan semua komponen masyarakat bahwa NKRI adalah negara yang berasaskan Pancasila dengan semboyan penyemangat berbunyi “BHINEKKA TUNGGAL IKA”. Berfoto-foto sebentar pun dilakukan sebagai kenangan untuk kelak dengan bermodal sebuah kamera DSLR. Tidak lupa melirik arloji dan waktu saat itu pun menunjukkan pukul 17 : 32 WIB. Artinya kami masih membutuhkan waktu sekitar 30 menit untuk sampai di Temajuk.

Tugu Pancasila di desa Temajuk
Mengantisipasi datangnya gelap, gangguan serangga, binatang liar, dan kemungkinan buruk lainnya di jalan, kami segera berbegas meninggalkan Tugu Pancasila. Kali ini sedikit melalui jalan berlumpur karena 20 menit setelahnya, motor sudah berada di jalan beraspal. Alangkah senangnya ketika Tugu NKRI di Temajuk sudah terlihat. Ini artinya kami sudah berada di beranda depan negara.


Beberapa waktu lalu santer diberitakan bahwa wilayah Indonesia di Dusun Camar Bulan, Desa Temajuk, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, dicaplok Malaysia. Desa Temajuk memang desa nun jauh di sana yang terkesan diabaikan pemerintah. Infrastruktur yang masih minim menjadi indikator utama. Akses jalan yang buruk, gedung sekolah yang tidak memadai, ketidaksediaan fasilitas kesehatan, minimnya listrik, dan tidak adanya sinyal untuk bertelekomunikasi.

Fakta mengenai  tidak adanya sinyal seluler di Temajuk benar adanya. Telepon seluler kini bukanlah barang mewah lagi. Namun  apalah gunanya jika telepon seluler disana tidak bisa digunakan untuk komunikasi jarak dekat maupun jarak jauh. Penduduk sekitar bahkan mengatakan bahwa untuk menelepon mereka harus menyeberang ke negeri tetangga, tentunya dengan simcard Malaysia. Itupun harus di beberapa tempat tertentu. Sungguh sebuah ironi, mengingat bahwa tanggal 17 Agustus 2015 nantinya Indonesia akan merayakan Hari Kemerdekaan yang ke 70.

Malam pertama sesampainya kami di Temajuk kami menginap di rumah milik keluarga Bapak Saman. Rumah ini terletak tidak jauh dari tepian pantai. Keluarga ini begitu hangat menyambut kedatangan kami dan sigap menyiapkan kebutuhan selama kami berada di sana. Sang istri pun nampak sibuk di dapur menyiapkan makanan dan minuman. Semangkuk besar sup daun melinjo, mie instan, dan sambal lada yang beraroma khas tersaji sebagai menu makan malam terasa hangat di tubuh. Sungguh begitu hangat, sehangat ketulusan dan kebaikan keluarga ini kepada kami. Hujan pun turun demikian derasnya. Gelombang laut terdengar begitu kuat menghantam karang. Angin berdesir kencang menggesek daun-daun nyiur di belakang rumah. Itulah yang membuat kami mengurungkan niat kami berburu kepiting batu. Alhasil kami menghabiskan malam di rumah sambil berbincang ringan, ada yang bermain kartu, dan ada yang memilih berbaring meluruskan pinggang.

Pantai Teluk Atong
Pagi keesokan harinya, matahari di Temajuk masih enggan menunjukkan diri. Hujan rintik-rintik masih membahasi rerumputan datar di pekarangan rumah. Butiran embun menempel di daun dan menetes cepat tersapu hembusan angin. Pagi itu begitu sejuk. Terlihat ada di antara kami yang masih tertidur pulas dan asyik membenamkan diri dalam kain selimut. Keasyikan tersebut berakhir saat hujan reda. Kami semua bersepakat turun ke pantai dan menyeberang ke negara tetangga. Segera kami bersiap-siap berangkat dan tidak lupa sarapan pagi untuk mengisi perut.

Deburan Ombak di Teluk Atong
Pantai Teluk Atong hanya berjarak 5 menit menggunakan motor dari rumah Pak Saman, tempat kami menginap. Pantai ini sebetulnya berair bening. Namun di musim hujan ketika gelombang begitu kuat, air pantai berubah sedikit keruh bercampur pasir yang tergulung ombak. Karang-karang terhampar di sekitar pantai. Agak menjorok ke bibir pantai, batu-batu besar kokoh menjulang. Pohon pinus berdiri tegak memberikan kesan hijau segar di penghilatan. Burung-burung camar laut terbang rendah mengitari wilayah pantai. Begitulah damainya pagi itu. Larutlah kami dalam suasana pantai yang begitu syahdu. Seakan lupa akan rutinitas dan kesibukan di kota besar.

Papan Petunjuk Manual menuju perbatasan dengan Malaysia
Petualangan dilanjutkan ke negara tetangga Malaysia. Tidak lama untuk bisa sampai ke Teluk Melano di seberang sana. Dengan kendaraan bermotor hanya dibutuhkan 20 menit. Sebuah pepatah lama yang berbunyi ”Rumput tetangga lebih hijau” cocok untuk menggambarkan kondisi di sana. Memasuki wilayah Malaysia, ternyata jauh dari bayangan sebelumnya yang dijaga banyak tentara. Di Temajuk, perbatasan hanya dijaga portal selebar dua meter. Di gerbang terdapat tulisan: Selamat Jalan, Doa Kami Menyertai Anda. Sedangkan dari Malaysia tulisannya: Selamat Datang di Indonesia, Desa Temajuk, Kecamatan Paloh, Kabupaten Sambas. Di Teluk Melano, pos jaga milik pemerintah Malaysia yang dijaga oleh tentara terlihat sangat apik dan representatif. Saat sepeda motor yang kami kendarai melintas di depan pos itu, tidak ada seorang pun tentara yang menghadang. Mereka hanya melempar senyum sebagai tanda boleh menginjakkan kaki di Malaysia. Berdasarkan informasi singkat yang kami dapatkan, di sana juga bisa ditemukan juga sebuah sekolah modern dan luas. Sekolah ini punya 6 kelas dengan jumlah siswa hanya 56 orang dan guru yang mengajar sampai 12 orang belum termasuk kepala sekolah dan penjaga sekolah. Bandingkan dengan sekolah yang berada di desa Temajuk, sarana dan pra sarananya masih memprihatinkan.

Pos Perbatasan RI - Malaysia, Teluk Melano.
Tujuan utama kami kali ini sebenarnya adalah ke pantai di wilayah Tanjung Datuk, wilayah perbatasan laut Indonesia dengan Malaysia. Pantai Tanjung Datuk sering disebut ”Surga di Ekor Kalimantan Barat”. Batu-batu besar yang berserakan persis di ekor Pulau Kalimantan semakin menambah eksotisme alam di sana. Lokasinya berhadapan langsung dengan Laut Natuna dan Laut Cina Selatan, dan  sangat cocok untuk fishing, snorkeling, scuba diving, dan aktivitas penyelaman. Terumbu karang di Tanjung Datuk juga merupakan rumah bagi sejumlah ikan-ikan berwarna-warni. Daerah Tanjung Datuk masih begitu asri dan belum dieksplorasi secara keseluruhan. Di Tanjung Datuk ini terdapat patok batu koordinat berbentuk persegi. Patok tersebut memuat  angka-angka titik koordinat yang menjadi penanda batas antara Indonesia dan Malaysia yang didasarkan pada kesepakatan antara Inggris (penjajah malaysia) dan Belanda (penjajah Indonesia). Sebuah mercusuar tinggi juga berdiri di atas bukit. Untuk mencapai tempat tersebut, kami harus mendaki lereng bukit dengan kemiringan sekitar 45 derajat. Terdapat empat bangunan mercusuar di atas bukit kawasan Tanjung Datuk, dua mercusuar milik Malaysia yang salah satunya sudah tidak lagi beroperasi, dan dua milik Indonesia yang salah satunya sedang dibangun. Mercusuar milik Indonesia yang sedang dibangun berbentuk seperti menara pemancar gelombang radio yang sangat tinggi. Pembangunan mercusuar ini mungkin merupakan niat Pemerintah Indonesia yang ingin lebih serius memperhatikan tapal batas menyusul lepasnya Pulau Ligitan dan Pulau Sipadan ke tangan negeri jiran Malaysia belasan tahun silam, tepatnya 17 Desember 2002.

Dalam kunjungan sebelumnya kami sempat mengikuti kegiatan melaut nelayan Desa Temajuk dan diakhiri dengan acara fish barbeque, berbekal hasil tangkapan nelayan. Namun kali ini kami kurang beruntung karena cuaca sedang tidak bersahabat. Tidak apalah, dalam hati kami bergumam. Akan ada kesempatan lain di kemudian hari.

Puas menikmati panorama negara tetangga, kami bertolak kembali ke Indonesia. Hujan deras pun mengguyur sesampainya kami ke rumah. Istri Bapak Saman ternyata sudah menyiapkan kue gelang-gelang (donat tradisional) dan segelas besar kopi panas untuk kami. Begitu sempurna nya kedua menu itu menjadi teman penghangat di hari hujan. Sore harinya, hujan pun reda dan kami diajak putra Bapak Saman, Sagus untuk bermain volly di lapangan desa. Kami yang merupakan tamu pendatang sontak menjadi pusat perhatian warga desa. Tanpa basa basi kami pun main bergabung, larut dalam suasana permainan yang begitu terasa menyenangkan meskipun dengan kemampuan yang tidak begitu mahir. Sebuah bentuk sosialisasi dan kekeluargaan tercipta di antara himpitan dunia nyata yang semakin apatis. Adakalanya benar bahwa kehidupan desa lebih baik untuk memperbaiki hubungan sosial antar manusia. Permainan diakhiri begitu menjelang adzan Maghrib karena penduduk Temajuk merupakan umat muslim. Kami pun bergegas pulang meninggalkan lapangan permainan.

Kehidupan malam di Temajuk pun segera dimulai. Rumah tanpa listrik adalah bentuk ujian bagi penduduk desa. Tidak ada pembangkit tenaga listrik yang bersifat massal di daerah ini. Menurut warga, dulu memang pernah ada bantuan pembangkit listrik tenaga air, namun alat itu tidak dapat bertahan lama karena disambar petir. Kemudian sampai saat ini, pembangkit itu tak kunjung diperbaiki atau diganti oleh Pemerintah Indonesia. Sementara itu, di desa tetangga, Desa Maludin terdapat generator listrik yang digerakkan oleh angin, matahari dan diesel. Ketiga sistem itu bekerja secara otomatis dalam kondisi cuaca yang sesuai untuk menggerakkan generator itu. Misalnya ketika angin tersedia cukup maka generator itu digerakkan oleh angin. Lalu jika sinar matahari sangat terang dan cukup maka generator itu digerakkan oleh sinar surya. Jika keduanya dalam keadaan kurang baik maka generator itu digerakkan oleh tenaga diesel.

Untuk mengusir sepi, kami meramaikan keremangan di rumah dengan bermain gitar dan sebagian bermain kartu. Salah seorang dari kami pun tidak canggung menunjukkan kemampuan sulap yang dimiliki olehnya. Berbagai trik sulap yang dikuasainya dipertontonkan kepada kami dan sang tuan rumah. Muncul ekspresi riang, terkagum-kagum, tertawa lepas, dan wajah heran sedikit berpikir keras bagaimana trik itu dilakukan. Demikian kami melewati malam terkahir kami disana hingga hujan deras pun turun dan menambah dinginnya hawa sekitar. Tikar digelar dan kami pun larut dalam buaian angin malam.

Dermaga Camar Bulan
Keesokan harinya sebelum pulang, kami menuju ke jembatan Desa Camar Bulan untuk berfoto ria dengan berbagai rupa mimik wajah dan pose yang ditampan-tampankan. Pagi itu langit masih saja mendung dan angin bertiup sama kencangnya dengan pagi sebelumnya. Ada sebuah nuansa sedikit muram di angkasa yang menjadi latar belakang kami berfoto. Jika dibalut dengan keterampilan fotografi yang handal, latar belakang tersebut akan terkesan eksotis.

Puas mengambil gambar dan berfoto, kami pulang ke rumah dan mulai mengemas segala perlengkapan yang kami bawa. Tuan rumah yang khawatir kami bakal lapar di perjalanan kemudian bergegas menghidangkan mie instan. Jadilah kami makan sebelum meninggalkan Desa Temajuk.

Seorang bapak yang berbaik hati membantu kami melewati kubangan
Ada perjumpaan, ada pula perpisahan. Demikian pula dengan kunjungan kami kali ini di Temajuk. Dari awal sampai kepulangan, kami disambut dengan sangat baik oleh keluarga Bapak Saman. Membuat kaki kami terasa berat untuk digerakkan melangkah keluar dari pekarangan rumah. Namun apa boleh dikata, karena ada pekerjaan di kota kami tidak bisa berlama-lama di sana. Perjalanan yang cukup panjang pun segera dimulai melewati rute yang sama dengan rute kedatangan. Jalan masih saja dipenuhi kubangan air dan becek akibat hujan semalam. Ada saatnya kami menemui kesulitan melewati jalan penuh air dan penduduk sekitar yang melintas bersamaan tanpa sungkan membantu kami melewatinya. Padahal kenal dengan kami saja tidak. Sekali lagi, Temajuk menorehkan kesan mendalam akan fitrah manusia sebagai makhluk sosial.

Kami akan merindukan Akbar dan Keluarga di Temajuk
Semoga benar di kemudian hari Temajuk dapat diabadikan dalam sebuah gambar sebagai surga. Surga eksotis yang dapat dieksplorasi setiap sudut panoramanya. Surga yang akan menjadi agenda wajib dalam daftar kunjungan wisata.  Sebuah surga yang menawarkan keindahan alami, walau harus menempuh jalur ‘neraka’ untuk menemukannya. Semoga desa ini bisa menjadi salah satu destinasi wisata pantai, yang tentunya harus ditunjang dengan infrastruktur & akses jalan yang layak, dimana anda dan keluarga bisa dengan mudah berlibur ke sana. Akhir kata, datanglah ke Temajuk dan nikmatilah keindahan panoramanya.


Salam Petualangan,


Tihany


No comments:

Post a Comment