Nama Agustinus Wibowo mungkin akrab di telinga para
traveler tanah air. Suatu ketika dalam bukunya ia berkata : ” Perjalananku
bukan perjalananmu, tapi perjalananku adalah perjalananmu. Masing-masing kita punya safarnama sendiri-sendiri,
tapi hakikat safarnama itu adalah sama. Perjalanan adalah belajar melihat dunia luar, juga
belajar untuk melihat ke dalam diri. Pulang memang adalah jalan yang harus
dijalani semua pejalan. Dari Titik Nol kita berangkat, kepada Titik Nol kita
kembali. Tiada kisah cinta yang tak berbubuh noktah, tiada pesta yang tanpa
bubar, tiada pertemuan yang tanpa perpisahan, tiada perjalanan yang tanpa
pulang.”
Sungguh dalam ia mengartikan sebuah perjalan. Lantas apa
makna sebuah perjalanan bagi saya, anda, dia, dan mereka yang lain?
Kata “travel” dalam bahasa Inggris artinya melakukan
perjalanan. Sedangkan dalam bahasa Perancis kata “travail” artinya kerja keras.
“Safar” dalam bahasa arab adalah perjalanan sedangkan “suffer” dalam bahasa
Inggris maksudnya adalah derita; penderitaan. Dan keempat makna itu rupanya
terjalin padu dan rapi dalam setiap perjalanan yang dilakukan oleh seorang
manusia.
Bahagianya seorang petualang itu ada dua, saat mengepak
tas untuk kembali melanjutkan perjalanan dan saat mengepak tas untuk kembali
pulang. Pulang,
yang kemudian suatu saat akan pergi lagi. Setting tempat boleh saja berbeda,
namun pristiwa “perjalanan” itu sendiri akan selalu menyertai pada kegiatan
“pergi” atau “pulang” tersebut. Energi
kuat saat “pergi” adalah saat ada seseorang yang berharap kita juga “pulang”
kembali. Hidup di dunia itu seperti sebuah perjalanan itu. Kita hanya singgah
sementara saja. Tidak ada yang kekal.
Merancang sebuah perjalanan tentu juga harus dibarengi
dengan ketelitian dan cermat secara ekonomis. Mencatat semua pengeluaran kita
secara detail dilakukan agar kita terbiasa bertanggung jawab pada amanah harta
yang ada di tangan kita. Kemana keuar dan untuk apa ia dibelanjakan.
Ini bukan kikir atau pelit. Ini adalah bahan evaluasi yang kelak kita akan
pertanggungjawabkan. Apalagi bagi seorang traveler. Pengaturan uang itu pentingnya sama dengan pengaturan
stamina dan dapur pacu dengkul kita. Prinsip ekonomi harus menjadi pertimbangan
dengan memperhatikan kenyamanan. Tapi juga jangan sampai
membuat tubuh manja dijejali fasilitas kemudahan. Karena perjalanan itu
sejatinya juga cara mendidik kita dalam mengelola kepemimpinan dan sumber daya.
Begitulah sekiranya aku memaknai sebuah perjalanan. Dalam
kehidupan ini, manusia terkadang melihat lebih banyak, tetapi tidak belajar
lebih banyak.
Kali ini akan diceritakan perjalanan menuju objek utama, Taman
Nasional Danau Sentarum. Lokasinya berada di Kabupaten paling timur di Kalimantan
Barat, yaitu Kapuas Hulu. Ibu kota kabupaten ini terletak di Putussibau yang dapat ditempuh lewat
transportasi sungai Kapuas sejauh 846 km, lewat jalan darat sejauh 814 km,
melalui jalur lama (bukan trans Kalimantan) dan lewat udara ditempuh dengan
pesawat berbadan kecil dari Pontianak melalui Bandar Udara Pangsuma. Dikutip
dari Wikipedia.com Bandara ini memiliki
Panjang Landasan/Arah/PCN: 1.004 x 23 m / 10-28 / 5 FCZU, tergolong Kelas IV
dengan kemampuan bisa untuk mendarat jenis pesawat DHC-6 serta memiliki
Terminal Domestik seluas 240 m2. Saat ini sudah ada dua maskapai yang melayani
penerbangan dari Pontianak ke Putussibau, yaitu Kalstar Aviation dan Garuda
Indonesia.
Mengingat bahwa perjalanan ini dilakukan dengan budget
ketat, maka kami memilih jalur darat menggunakan bus umum eksekutif ber-AC
milik armada CV. Perintis. Bus berangkat dari Pool Perintis di pusat pertokoan
Kapuas Indah pukul 14.00 siang. Suasana di dalam bus cukup nyaman, kursi empuk,
penumpang tidak berjejal, dan tentunya dilengkapi dengan pendingin udara. Jalur
yang ditempuh adalah melalui jalur alternatif trans kalimantan Pontianak –
Tayan – Sosok.
Yang menjadi hal pengganggu kenyamanan perjalanan kami
adalah kondisi infrastruktur di wilayah Provinsi Kalimantan Barat. Kondisi
jalan benar-benar memprihatinkan sehingga sering mengakibatkan puluhan
kendaraan harus berjejer antri satu persatu melintasi jalan yang rusak. Jalanan
menuju ke daerah pedalaman Kalbar yang penuh tantangan dan menguji ketangguhan
pinggang serta pinggul akan menyisakan cerita tersendiri. Bayangkan saja, perjalanan
darat dari Pontianak-Putusibau yang mencapai jarak kurang lebih 580 km via
jalur alternatif Sei Ambawang (Pontianak)-Tayan-Sosok ternyata 40% dalam
kondisi rusak parah. Bahkan ditengah-tengah ibukota Kabupaten sekalipun seperti
di Sintang anda akan disuguhkan jalanan rusak, berdebu dan kubangan super becek
kala hujan turun. Sebelas- dua belas juga dengan jalananan Bodok-Sanggau yang
berselang 20 m selalu akan ada lubang dan kubangan. Jalan negara antara Sintang
menuju ada beberapa titik yang mengalami kerusakan cukup serius, salah satunya
yang berada di sekitar kawasan hutan lindung di Kecamatan Silat Hulu. Mungkin
ini bisa jadi bagian dari komoditas wisata adventure dan jejak petualang?
Mungkin!
Masyarakat perlu bersabar dengan konsep pembangunan daerah
yang minim visi ini. Malu dengan negeri jiran terdekat, dimana jalan raya dari
Tebedu menuju Kuching kualitasnya mirip jalan tol di Jawa, dengan letak
pemukiman yang terletak menjorok ke dalam dan ter-cluster jauh dari jalan raya.
Alih-alih bicara pelebaran jalan dan peningkatan kualitas jalan, yang sekarang
sudah merupakan prestasi yang luar biasa dan patut disyukuri, dibanding 3-4
tahun yang lalu dimana Pontianak-Putusibau harus ditempuh hingga berhari-hari
dengan kendaraan yang tak biasa pula. Sudahlah, luka lama ini jangan lagi
dibahas!
Sekali lagi, kami menempuh perjalanan yang tidak mudah.
Semua terasa lega ketika nampak dari kejauhan Gerbang Selamat Datang di Kota
Putussibau. Melirik arloji yang melingkar, waktu menunjukkan pukul 06.12
keesokan harinya. Artinya waktu tempuh Pontianak – Putussibau sekitar 16 jam.
Setara dengan perjalanan udara Jakarta (Indonesia) – London (Inggris).
Spektakuler!
Sesampainya di Putussibau kami beristirahat menumpang di
rumah kerabat. Kota Putussibau dengan semboyan “Bumi Uncak Kapuas”
memang tidak terlalu besar dibandingkan kota Pontianak apalagi dengan kota di
pulau Jawa, dengan luas sekitar 29.842 km2 dan jumlah penduduk sekitar 300 ribu
jiwa, namun kota ini tampak bersih dan teratur dengan kondisi lalu lintas yang jelas
jauh lebih tertib dibandingkan kota Pontianak. Kota ini relatif berkembang. Sudah terdapat
bandara, RSUD, sekolah negeri maupun swasta, toko swalayan, beberapa hotel
layak huni, pusat kebugaran, sarana dan gedung olahraga, rumah ibadah, rumah
makan bermenu khas Kapuas Hulu, , taman alun-alun, pasar pagi tradisional, pasar
inpres, dan beberapa fasilitas publik lainnya.
Sore
harinya kami mengunjungi Rumah Betang Bali Gundi di Sibau Hulu dan selepas itu
bermain-main dengan air Sungai Kapuas di ujung
Rumah Betang itu. Penghuni Rumah
Betang sangat antusias menyambut kedatangan tamu dari luar seperti kami.
Anak-anak berhamburan ke teras rumah. Hampir semua penghuni Betang keluar untuk
melihat siapa yang datang.
Suasana di Betang begitu nyaman, aman, sejuk dan bersih
yang membuat kami dapat sedikit merenggangkan beban pikiran dari rutinitas
pekerjaan dan terutama lelahnya perjalanan hari kemarin. Rumah Betang ini
memiliki panjang sekitar 150 meter. Berpintu 55 (dihuni 55 kepala keluarga).
Mereka dipimpin oleh seorang temanggung adat yang bertanggungjawab sebagai
kepala adapt. Kepala adat mempunyai wewenang menyelesaikan perkara adat berat,
seperti pembunuhan, perkelahian massal dan penyerangan-penyerangan dari
kampung-kampung lain. Arsitektur Rumah Betang begitu kokoh, berfondasikan kayu
ulin yang hitam mengkilat, juga berlantaikan kayu ulin yang berkualitas baik,
ditambah dengan ornamen-ornamen, ukiran-ukiran gambar dan patung-patung khas
Suku Dayak yang pastinya memiliki nilai-nilai tertentu. Keramahan masyarakat
setempat dan Kepala Dusun Tanjung Pandan yang berbaik hati memperlihatkan pakaian
yang biasanya dipakai dalam acara-acara tertentu serta memamerkan kerajinan
tangan masyarakat Betang Bali Gundi. Semuanya menjadi pelengkap perjalanan
tanpa rencana ini. Banyak sekali nilai-nilai religi, kultural, sosial dan edukasi
di sini. Mulai dari adat istiadat yang masih kental, kemudian mengingat kembali
sejarah-sejarah masa lalu yang memiliki nilai historis tentunya, sampai
memaknai arti sebuah kebersamaan, dimana kerukunan dan saling pengertian
menjadi modal utama untuk menjalani sebuah kehidupan.
Sebelum pulang Kepala Dusun menceritakan asal usul
penamaan Rumah Betang ini. Nama Bali Gundi ternyata memiliki makna filosofis.
Bali yang berarti “Membeli” dan Gundi berarti “Tempayan”. Yang jika disatukan
menjadi Bali Gundi yaitu “Membeli Tempayan”. Alkisah singkatnya, pada zaman dahulu masyarakat Sibau
belum memiliki rumah menetap dan hidup berpindah-pindah. Ketika dalam
perpindahan tersebut ada seorang bidadari dari kayangan yang menukarkan Pulau
Sibau ini dengan sebuah tempayan untuk tempat tinggal mereka. Kelak dimana
tempayan itu tidak mampu lagi diangkat sewaktu berpindah-pindah, disitulah
mereka membangun Betang .
Kami pun pulang berbekal sebuah pengalaman baru.
Bertandang ke Rumah Betang memberikan bukti bahwa kehidupan komunal masih ada
di tengah perkembangan zaman yang cenderung individualis. Kehidupan rumah
betang yang menitikberatkan pada kebersamaan dan permufakatan adalah
manifestasi dari nilai-nilai gotong royong yang merupakan ciri khas sosialisme
Indonesia.
Malam harinya kami pun menyusun rencana keberangkatan ke
Danau Sentarum. Kami mengontak kawan warga asli Lanjak untuk menyiapkan
speedboat sebagai transportasi ke danau. Rupanya speedboat sudah disiapkan dua
hari sebelumnya. Kontak telepon selesai dan urusan transportasi ke danau beres
tanpa kendala. Giliran masalah konser di kampung tengah alias perut keroncongan
yang harus diselesaikan. Hahaha..
Jadilah kami makan malam dengan lauk kerupuk basah khas Kapuas Hulu dan ikan
patin asam pedas yang lezatnya bukan main. Kenyang dan puas rasanya malam itu.
Keesokan paginya, kami berenam bersiap menuju Lanjak.
Setelah memeriksa keadaan motor dan mengisi bahan bakar, perjalanan pun di
mulai. Waktu menunjukkan pukul 10.05. Jarak Putussibau menuju Lanjak sekitar
122 km dapat ditempuh dalam waktu kurang lebih 3 jam. Jalan aspal akan ditemui
hingga wilayah Desa Apan. Selebihnya tanah kuning dan pengerasan hingga ke
Mataso. Dari Mataso jalan relatif mulus hingga menuju Lanjak. Hari itu cuaca
begitu cerah, tidak terlalu panas, namun tidak juga turun hujan. Kami singgah mengisi
bahan bakar sekaligus beristirahat di Mataso sambil menenggak minuman pelepas
dahaga. Di warung itu, orang-orang segera menyadari bahwa kami adalah
pendatang. Mereka nampak celingak-celinguk memperhatikan gerak-gerik kami.
Pemilik warung menghampiri kami dan memulai obrolan siang itu. Tutur katanya
sopan, tanpa ada kesan intimidasi, menanyakan tujuan perjalanan kami. Dari sang
pemilik warung kami mendapatkan informasi tambahan bahwa sebelum mencapai
Lanjak, kami akan melewati wilayah Sungai Sedik. Disinilah terdapat sebuah air
terjun kecil yang cukup menyegarkan mata. Berharganya informasi itu dan tidak
kami sia-siakan.
Cukup beristirahat perjalanan kemudian dilanjutkan. Sang
pemilik warung pun tersenyum dan melambaikan tangannya di depan warung sembari
berpesan untuk berhati-hati di jalan. Berbekal informasi darinya kami singgah
di Sungai Sedik. Benar rupanya, air terjun kecil ini begitu menyejukkan. Bagi
yang ingin menuju Lanjak menyambangi Sungai Sedik tentu tidak boleh dilewatkan. Pengunjung bisa
melihat keindahan air terjun dan berenang di kolam yang menampung aliran air
tersebut,. Sungai Sedik mengalir mengikuti kontur perbukitan sebelum memasuki
kawasan Genting Lanjak. Gemiricik airnya bahkan terdengar dari jalan yang
melaluinya. Pemandangan di sungai yang jernih dan alami ini cukup eksotis. Di
bagian hulu Sungai Sedik, terdapat air terjun yang dikelilingi hijau hutan
tropis. Kejernihan, kesegaran, serta melimpahnya air di kolamnya akan
mengundang siapa saja untuk berenang.
Dari Sungai Sedik menuju Lanjak tidak jauh lagi. Sebelum
memasuki kota Lanjak, setiap pengunjung harus melalui sebuah jalan menanjak
yang dinamakan Genting Lanjak. Dari sinilah tampak Danau Sentarum dan Pulau
Melayu. Pemandangan begitu eksotis sedikit mistis disuguhkan oleh sang danau
dari kejauhan. Mistis disini diartikan sebagai sugesti bahwa sang danau seakan
mengajak semua pengunjung untuk kesana menikmati pesonanya.
Menuruni Genting Lanjak juga tidak kalah serunya dengan
pada saat menajak. Kontur perbukitan membuat jalur menurun sedikit
berkelok-kelok. Namun tidak perlu khawatir kondisi jalan di Lanjak sudah mulus.
Sepanjang 10 menit jalan menurun pengunjung dapat melihat panorama hutan yang
begitu indah sambil sesekali melihat burung tekukur yang terbang rendah.
Tanjakan dan turunan Genting Lanjak sama-sama menantang untuk ditelusuri.
Setiap kelokan memacu adrenalin dan menguji kehandalan berkemudi.
Jam menunjukkan pukul 14.30 siang, kami pun sampai di
rumah kawan yang sudah kami hubungi sebelumnya. Semua sudah disiapkan sehingga
tidak perlu repot mengurus hal-hal selama kami di Lanjak dan menuju Danau
Sentarum. Rumah kawan yang kami tempati adalah sebuah rumah panggung bercorak
akulturasi Melayu dan Dayak. Hal ini nampak dari arsitektur rumah yag dibangun
tinggi berjarak dengan tanah dan sirap yang digunakan sebagai atap rumah. Cukup
tradisional namun nyaman. Mengingat lokasi Kota Lanjak lumayan terpencil dan
kehidupan masyarakatnya yang relatif masih tradisional, keberadaan hotel mewah
nyaris tidak ada. Akan tetapi, bukankah ini merupakan suatu petualangan sendiri
untuk mencicipi hidup sejenak yang dekat dengan alam liar. Kendati demikian
sudah banyak ditemukan hotel kelas melati di Kota Lanjak. Selain menginap di
hotel, Anda juga dapat menginap di rumah-rumah penduduk yang memang sengaja
disewakan untuk pengunjung maupun wisatawan.
Lanjak, adalah ibu kota Kecamatan Batang Lupar menjadi
salah satu wilayah di Kapuas Hulu yang menjadi gerbang untuk memasuki pesona
dan keindahan Taman Nasional Danau Sentarum.
Di sini pengunjung masih bisa menemukan bukti sejarah masa silam yakni sebuah
gudang logisitik pada masa penumpasan PGRS/Paraku. Masa-masa itu menciptakan tragedi kemanusiaan yang
lagi-lagi diakibatkan peta politik yang tergantung pada idealisme. Gudang
terbuat seluruhnya dari seng tebal yang masih bertahan puluhan tahun kemudian
masih berdiri dengan tegak kemudian difungsikan oleh militer sebagai sel untuk
anggota pemberontak yang tertangkap. Melihat bangunan itu, hati kami bergidik
membayangkan penderitaan yang dialami oleh mereka yang terkurung dan dibiarkan
mati kedinginan, kepanasan dan kelaparan. Kita tidak bisa memutar waktu untuk
memperbaiki keadaan, namun biarlah gudang itu menjadi saksi dan mengingatkan
kita untuk menjadi manusia yang lebih baik kedepannya, menghargai kemanusiaan
dan menjaga agar negara ini tidak lagi berada pada situasi yang membuat kita
abai terhadap hak hidup orang lain.
Waktu semakin sore dan saatnya kami diajak kawan utnk
masuk ke kampung. Ada pesta gawai katanya. Budaya masyarakat yang menghuni
Lanjak juga dapat menjadi daya tarik lain di daerah ini. Umumnya penduduk asli
Kecamatan Batang Lupar terdiri dari Suku Dayak baik sub suku Iban dan sub suku
Embaloh. Kedua Sub Suku ini hingga kini masih memegang teguh adat-istiadatnya
dengan tetap melaksanakan upacara-upacara atau ritual adat seperti acara Gawai.
Sungguh kebetulan kami mengunjungi Lanjak ketika
digelarnya acara Gawai Dayak. Pada intinya acara Gawai merupakan wujud syukur
masyarakat Dayak atas hasil panen yang telah diperoleh. Gawai di Lanjak dikemas
dengan meriah. Rumah Betang dihias dengan ornamen-ornamen yang memikat mata.
Kampung-Kampung sibuk mempersiapkan segala sesuatu. Beragam makanan tradisional
dan sejumlah sesaji pun tak lupa disiapkan sebagai salah satu unsur penting
upacara. Penganan khas berupa nasi pulut dan tuak adalah dua menu wajib dalam
acara gawai. Musik tradisional pun dimainkan menambah semarak malam gawai
tersebut. Kami pun ikut bersuka ria dalam suasana malam itu. Puas, kenyang, dan
senang kami beranjak meninggalkan acara gawai untuk mempersiapkan keberangkatan
ke danau esok harinya.
Pagi jam 06.00 setelah sarapan, kami menuju dermaga
speedboat di ujung jalan pasar Lanjak. Disanalah speedboat milik kawan kami
ditambatkan. Satu speedboat bisa menampung 5 orang termasuk pengemudi. Karena
jumlah kami yang melebihi kapasitas maka digunakan 2 speedboat dengan susunan 4
orang/boat. Penelusuran danau pun kami mulai. Speedboat melaju dengan kencang.
Suaranya meraung-raung mebleha air danau yang kehitam-hitaman. Air danau saat
itu lumayan pasang. Uniknya, di musim kemarau air danau surut meninggalkan
hamparan tanah kering yang berkali-kali luasnya dengan lapangan bola.Begitu
keringnya air danau sehingga motor pun bisa melintasinya.
Perjalanan kami mengarungi danau, cukup membakar kulit
karena teriknya matahari. Meski begitu, semua itu terbayarkan begitu melihat
keindahan pemandangan. Di pinggir Danau Sentarum banyak dijumpai rumah-rumah
terapung milik penduduk ataupun rumah panggung sederhana. Beberapa nelayan
diatas sampan, terlihat sedang menangkap ikan. Hembusan angin pagi hari yang
cukup kuat, harus diimbangi dengan keterampilan pengemudi dalam mengemudikan
speedboat, bila tak mau menabrak pepohonan rawa. Dengan luas sekitar 132 ribu
hektar, Taman Nasional Danau Sentarum sangat luas untuk dijelajahi.
Setelah mengarungi danau sekitar 30 menit lamanya diatas
speedboat, akhirnya kami tiba di salah satu pulau yang dinamakan penduduk
sekitar Pulau Melayu. Keunikan dari pulau ini adalah keberadaan Batu Beranak
yang berada di atas bukit. Konon ada sebuah mitos yang sampai saat ini masih
dipercaya oleh masyarakat sekitar. Mitos tersebut kira-kira seperti begini.
Boleh percaya atau tidak, bagi orang-orang yang ingin menyampaikan hajat,
permohonan, doa, keinginan yang belum tercapai, dan sejenis nya potonglah
ranting pohon seukuran sejengkal. Kemudian berjalanan naik ke atas bukit,
sambil menggenggam ranting dan mengucapkan permohonan di dalam hati. Hingga
mencapai Batu Beranak, letakkan ranting tersebut di atas batu. Tinggalkan
ranting tersebut untuk beberapa saat dan berjalanlah menjauh (kami disarankan
turun). Dan kemudian naik lagi ke bukit. Ukur kembali ranting yang dipotong
tadi. Apabila ukuran ranting bertambah panjang melebihi sejengkal maka niscaya
permohonan tersebut akan terkabul. Tetapi saya belum beruntung, ranting yang
saya letakkan tidak berubah sejengkal pun.
Di Pulau Melayu ini terdapat fasilitas Pondok Wisata yang
bisa digunakan untuk pengunjung Taman Nasional. Tapi sayang kondisinya rusak
dan tidak terurus. Dari pondok wisata pengunjung bisa dengan leluasa menyaksikan
lanskap Danau Sentarum dari atas bukit. Bagi yang sudah biasa, perjalanan
ke atas memakan waktu tak sampai 15 menit, tapi bagi yang belum terbiasa,
perjalanan ini bisa jadi sebuah latihan fisik. Namun semua itu terbayarkan
begitu akhirnya bisa sampai keatas. Bagi yang gemar memancing, Danau Sentarum
memiliki potensi ikan yang sangat kaya. Seperti misalnya ikan toman, ikan
betok, ikan lais, dan lain-lain. Beruntung hari itu kami berhasil mendapat ikan
toman yang berukuran cukup besar. Hasil pancingan disajikan dalam olahan yang
masih asli tanpa sentuhan bumbu. Rasa ikannya lembut dan manis di lidah. Sayangnya
waktu kami tak banyak. Taman Nasional Danau Sentarum yang begitu luas, hanya
sempat kami lihat dari atas Pondok Wisata Pulau Melayu. Namun setidaknya, kami
sudah mencicipi keindahan panorama danau beserta keanekaragaman hayatinya yang
mungkin saja termasuk lengkap di dunia.
Menelusuri perairan Danau Sentarum tidak berlebihan
rasanya seperti ungkapan menjatuhkan diri pada pelukan alam. Bagaimana tidak,
sekejap kami berada di tengah hamparan
danau yang luas dikelilingi perbukitan nan hijau memukau. Saat-saat itu adalah pembuktian
jiwa petualangan seseorang di jantung belantara Kalimantan. Di Sentarum
inilah telah bersatu
semua elemen keindahan flora,
fauna, dan budaya dalam satu bejana wisata. Tak
hanya sekedar alamnya yang menawan, budayanya pun mempesona. Berkenaan dengan
itu, promosi besar-besaran harus segera digencarkan untuk menarik wisatawan
sebanyak-banyaknya berkunjung kesana. Harus diakui bahwa Danau Sentarum memang
belum setenar danau-danau lainnya di Indonesia, namun ia menunggu untuk dijamah
dan dieksplorasi lebih ekspansif menjadi sebuah destinasi yang layak dikunjungi
warga dunia.
Salam
Petualangan!
Jembatan Darurat yang hampir roboh |
Saat-saat Gawai |
Mesin Speedboat membelah air danau |
Warna Air Danau yang kehitam-hitaman karena kandungan zat tanin |
Genting Lanjak, Photo Spot Danau Sentarum |
Refleksi Air Danau |
No comments:
Post a Comment