Tuesday, June 30, 2015

TEMAJUK : POTRET KEHIDUPAN DAN PANORAMA DI UJUNG NEGERI



Villa Kelapa Dua yang dikelola penduduk setempat. Unik tidak bentuk bangunannya?
Kebanyakan orang yang mempunyai hobby travelling sepertinya akan lebih memilih tujuan yang populer dan mudah diakses ketimbang harus menyusuri wilayah terpencil dan berada di pedalaman. Namun kali ini, kami merasakan hal sebaliknya. Angin petualangan kembali bertiup menebarkan aroma sebuah wilayah desa perbatasan darat dan laut antara Republik Indonesia dengan Malaysia. Desa yang seakan terlupakan sebagai beranda wilayah negara. Desa yang belum bisa terhubung dengan wilayah luar karena ketiadaan akses telekomunikasi.  Temajuk, begitulah desa itu disebut.

Perjalanan ke Temajuk dimulai dari titik keberangkatan di kota Sambas. Sungguh bukan perjalanan yang nyaman. Jika musim kemarau jalanan akan lebih padat namun berdebu pekat. Adapun di musim hujan seperti sekarang ini jalanan menjadi kolam lumpur dengan kubangan mengaga di tengah. Berbicara mengenai waktu tempuh pun akan tercipta versi berbeda akan lamanya perjalanan. Dalam versi kami, di musim kemarau waktu tempuh akan terasa lebih singkat, sekitar 4 jam. Sedangkan di musim hujan perjalanan akan lebih lama 2 jam karena kendala buruknya akses dan diselingi dengan singgah dan berteduh.

Moda transportasi yang kami gunakan adalah kendaraan roda dua untuk memudahkan aksesibilitas selama perjalanan. Rute pertama dari Sambas menuju dermaga penyeberangan speedboat di Tanjung akan melalui jalan beraspal dengan lubang dimana-mana. Speedboat akan membawa penumpang beserta motor menyeberangi Sungai Sambas menuju dermaga Teluk Kalong. Sebenarnya disini ada beberapa pilihan untuk menyeberangi sungai. Pertama adalah kapal ferry milik PT. ASDP. Namun tidak kami pilih karena lamanya waktu tunggu. Kedua adalah kapal motor berlabel KM GIAT, lagi-lagi tidak kami pilih karena akan memperlambat perjalanan karena harus mengitari kota Sekura. Pilihan kami jatuh pada speedboat karena lebih cepat dan tidak lama menunggu.

Perjalanan dari Teluk Kalong lantas dilanjutkan via darat menuju Desa Setinggak. Kondisi jalan sudah beraspal dan lumayan baik untuk dilalui. Meski demikian, kewaspadaan masih sangat diperlukan karena ada kerusakan jalan dan perbaikan jembatan di beberapa tempat. Hal lainnya adalah ramainya anak-anak dan terutama kebiasaan masyarakat sekitar yang sepertinya hobby nongkrong di tepi jalan. Sesampainya di Desa Setinggak jalan darat berakhir dan harus dilanjutkan menggunakan kapal speedboat bermesin  tunggal berkapasitas motor 8 unit, beserta penumpang dan muatan. Tidak ada pilihan lain alih-alih memilih jembatan yang entah kapan akan dibangun. Menyeberangi Sungai Paloh yang berarus tenang dan berhiaskan vegetasi Bakau/Mangrove yang dominan membutuhkan waktu sekitar 15 menit.

Foto di atas kapal penyebrangan Desa Cermai
Begitu mencapai daratan di Desa Cermai, nampak oleh kami orang-orang yang tengah sibuk bertelepon. Inilah desa terakhir terhitung dari ibukota Kabupaten Sambas yang bisa menjangkau sinyal seluler. Itupun hanya sinyal dua operator besar berwarna Merah dan Kuning. Di ujung dermaga terdengar oleh kami suara seorang pria dengan dialek Melayu Sambas yang begitu kental, mengabarkan bahwa ia akan segera pulang menjumpai keluarganya. Ada raut bahagia di wajahnya ketika ia mendengar bahwa istrinya di kota sudah melahirkan.

Kami tidak berlama-lama di Desa Cermai. Setelah mengisi bahan bakar perjalanan dilanjutkan. Jalan beraspal sangat membantu laju kendaraan. Namun 30 menit setelahnya, jalan aspal pun berakhir digantikan oleh jalan semen yang rusak dan genangan air di setiap 2 dan 3 meter di depan. Ujian di perjalanan masih belum berakhir karena hujan yang membuat jalan tanah kuning menjadi becek dan super licin. Belum lagi ditambah dengan melewati jembatan darurat yang dibuat atas inisiatif warga untuk melewati kolam-kolam genangan air di sepanjang perlanan. Kesigapan pengendara untuk mengenali medan jalan dan keterampilan mengendalikan kendaraan menjadi mutlak.

Motor menerjang kubangan air
Pantai Tanjung Bendera
Memasuki wilayah Desa Temajuk, kami menyempatkan diri untuk singgah di Pantai Tanjung Bendera, pantai berpasir halus dengan berhiaskan pohon cemara di sekitarnya. Jika beruntung terkadang akan muncul kawanan monyet berekor panjang (Macaque) yang seakan penasaran dan ingin  melihat aktivitas manusia. Cuaca pada saat itu sayangnya mendung dan menyurutkan niat kami untuk menikmati moment matahari terbenam di pantai.

Motor kembali dipacu. Sekitar 40 menit perjalanan terlihat Tugu Pancasila yang berdiri kokoh. Sayapnya mantap terbentang seakan menyambut siapapun yang berkunjung ke sana. Konon, tugu ini dibangun untuk menyadarkan semua komponen masyarakat bahwa NKRI adalah negara yang berasaskan Pancasila dengan semboyan penyemangat berbunyi “BHINEKKA TUNGGAL IKA”. Berfoto-foto sebentar pun dilakukan sebagai kenangan untuk kelak dengan bermodal sebuah kamera DSLR. Tidak lupa melirik arloji dan waktu saat itu pun menunjukkan pukul 17 : 32 WIB. Artinya kami masih membutuhkan waktu sekitar 30 menit untuk sampai di Temajuk.

Tugu Pancasila di desa Temajuk
Mengantisipasi datangnya gelap, gangguan serangga, binatang liar, dan kemungkinan buruk lainnya di jalan, kami segera berbegas meninggalkan Tugu Pancasila. Kali ini sedikit melalui jalan berlumpur karena 20 menit setelahnya, motor sudah berada di jalan beraspal. Alangkah senangnya ketika Tugu NKRI di Temajuk sudah terlihat. Ini artinya kami sudah berada di beranda depan negara.


Beberapa waktu lalu santer diberitakan bahwa wilayah Indonesia di Dusun Camar Bulan, Desa Temajuk, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, dicaplok Malaysia. Desa Temajuk memang desa nun jauh di sana yang terkesan diabaikan pemerintah. Infrastruktur yang masih minim menjadi indikator utama. Akses jalan yang buruk, gedung sekolah yang tidak memadai, ketidaksediaan fasilitas kesehatan, minimnya listrik, dan tidak adanya sinyal untuk bertelekomunikasi.

Fakta mengenai  tidak adanya sinyal seluler di Temajuk benar adanya. Telepon seluler kini bukanlah barang mewah lagi. Namun  apalah gunanya jika telepon seluler disana tidak bisa digunakan untuk komunikasi jarak dekat maupun jarak jauh. Penduduk sekitar bahkan mengatakan bahwa untuk menelepon mereka harus menyeberang ke negeri tetangga, tentunya dengan simcard Malaysia. Itupun harus di beberapa tempat tertentu. Sungguh sebuah ironi, mengingat bahwa tanggal 17 Agustus 2015 nantinya Indonesia akan merayakan Hari Kemerdekaan yang ke 70.

Malam pertama sesampainya kami di Temajuk kami menginap di rumah milik keluarga Bapak Saman. Rumah ini terletak tidak jauh dari tepian pantai. Keluarga ini begitu hangat menyambut kedatangan kami dan sigap menyiapkan kebutuhan selama kami berada di sana. Sang istri pun nampak sibuk di dapur menyiapkan makanan dan minuman. Semangkuk besar sup daun melinjo, mie instan, dan sambal lada yang beraroma khas tersaji sebagai menu makan malam terasa hangat di tubuh. Sungguh begitu hangat, sehangat ketulusan dan kebaikan keluarga ini kepada kami. Hujan pun turun demikian derasnya. Gelombang laut terdengar begitu kuat menghantam karang. Angin berdesir kencang menggesek daun-daun nyiur di belakang rumah. Itulah yang membuat kami mengurungkan niat kami berburu kepiting batu. Alhasil kami menghabiskan malam di rumah sambil berbincang ringan, ada yang bermain kartu, dan ada yang memilih berbaring meluruskan pinggang.

Pantai Teluk Atong
Pagi keesokan harinya, matahari di Temajuk masih enggan menunjukkan diri. Hujan rintik-rintik masih membahasi rerumputan datar di pekarangan rumah. Butiran embun menempel di daun dan menetes cepat tersapu hembusan angin. Pagi itu begitu sejuk. Terlihat ada di antara kami yang masih tertidur pulas dan asyik membenamkan diri dalam kain selimut. Keasyikan tersebut berakhir saat hujan reda. Kami semua bersepakat turun ke pantai dan menyeberang ke negara tetangga. Segera kami bersiap-siap berangkat dan tidak lupa sarapan pagi untuk mengisi perut.

Deburan Ombak di Teluk Atong
Pantai Teluk Atong hanya berjarak 5 menit menggunakan motor dari rumah Pak Saman, tempat kami menginap. Pantai ini sebetulnya berair bening. Namun di musim hujan ketika gelombang begitu kuat, air pantai berubah sedikit keruh bercampur pasir yang tergulung ombak. Karang-karang terhampar di sekitar pantai. Agak menjorok ke bibir pantai, batu-batu besar kokoh menjulang. Pohon pinus berdiri tegak memberikan kesan hijau segar di penghilatan. Burung-burung camar laut terbang rendah mengitari wilayah pantai. Begitulah damainya pagi itu. Larutlah kami dalam suasana pantai yang begitu syahdu. Seakan lupa akan rutinitas dan kesibukan di kota besar.

Papan Petunjuk Manual menuju perbatasan dengan Malaysia
Petualangan dilanjutkan ke negara tetangga Malaysia. Tidak lama untuk bisa sampai ke Teluk Melano di seberang sana. Dengan kendaraan bermotor hanya dibutuhkan 20 menit. Sebuah pepatah lama yang berbunyi ”Rumput tetangga lebih hijau” cocok untuk menggambarkan kondisi di sana. Memasuki wilayah Malaysia, ternyata jauh dari bayangan sebelumnya yang dijaga banyak tentara. Di Temajuk, perbatasan hanya dijaga portal selebar dua meter. Di gerbang terdapat tulisan: Selamat Jalan, Doa Kami Menyertai Anda. Sedangkan dari Malaysia tulisannya: Selamat Datang di Indonesia, Desa Temajuk, Kecamatan Paloh, Kabupaten Sambas. Di Teluk Melano, pos jaga milik pemerintah Malaysia yang dijaga oleh tentara terlihat sangat apik dan representatif. Saat sepeda motor yang kami kendarai melintas di depan pos itu, tidak ada seorang pun tentara yang menghadang. Mereka hanya melempar senyum sebagai tanda boleh menginjakkan kaki di Malaysia. Berdasarkan informasi singkat yang kami dapatkan, di sana juga bisa ditemukan juga sebuah sekolah modern dan luas. Sekolah ini punya 6 kelas dengan jumlah siswa hanya 56 orang dan guru yang mengajar sampai 12 orang belum termasuk kepala sekolah dan penjaga sekolah. Bandingkan dengan sekolah yang berada di desa Temajuk, sarana dan pra sarananya masih memprihatinkan.

Pos Perbatasan RI - Malaysia, Teluk Melano.
Tujuan utama kami kali ini sebenarnya adalah ke pantai di wilayah Tanjung Datuk, wilayah perbatasan laut Indonesia dengan Malaysia. Pantai Tanjung Datuk sering disebut ”Surga di Ekor Kalimantan Barat”. Batu-batu besar yang berserakan persis di ekor Pulau Kalimantan semakin menambah eksotisme alam di sana. Lokasinya berhadapan langsung dengan Laut Natuna dan Laut Cina Selatan, dan  sangat cocok untuk fishing, snorkeling, scuba diving, dan aktivitas penyelaman. Terumbu karang di Tanjung Datuk juga merupakan rumah bagi sejumlah ikan-ikan berwarna-warni. Daerah Tanjung Datuk masih begitu asri dan belum dieksplorasi secara keseluruhan. Di Tanjung Datuk ini terdapat patok batu koordinat berbentuk persegi. Patok tersebut memuat  angka-angka titik koordinat yang menjadi penanda batas antara Indonesia dan Malaysia yang didasarkan pada kesepakatan antara Inggris (penjajah malaysia) dan Belanda (penjajah Indonesia). Sebuah mercusuar tinggi juga berdiri di atas bukit. Untuk mencapai tempat tersebut, kami harus mendaki lereng bukit dengan kemiringan sekitar 45 derajat. Terdapat empat bangunan mercusuar di atas bukit kawasan Tanjung Datuk, dua mercusuar milik Malaysia yang salah satunya sudah tidak lagi beroperasi, dan dua milik Indonesia yang salah satunya sedang dibangun. Mercusuar milik Indonesia yang sedang dibangun berbentuk seperti menara pemancar gelombang radio yang sangat tinggi. Pembangunan mercusuar ini mungkin merupakan niat Pemerintah Indonesia yang ingin lebih serius memperhatikan tapal batas menyusul lepasnya Pulau Ligitan dan Pulau Sipadan ke tangan negeri jiran Malaysia belasan tahun silam, tepatnya 17 Desember 2002.

Dalam kunjungan sebelumnya kami sempat mengikuti kegiatan melaut nelayan Desa Temajuk dan diakhiri dengan acara fish barbeque, berbekal hasil tangkapan nelayan. Namun kali ini kami kurang beruntung karena cuaca sedang tidak bersahabat. Tidak apalah, dalam hati kami bergumam. Akan ada kesempatan lain di kemudian hari.

Puas menikmati panorama negara tetangga, kami bertolak kembali ke Indonesia. Hujan deras pun mengguyur sesampainya kami ke rumah. Istri Bapak Saman ternyata sudah menyiapkan kue gelang-gelang (donat tradisional) dan segelas besar kopi panas untuk kami. Begitu sempurna nya kedua menu itu menjadi teman penghangat di hari hujan. Sore harinya, hujan pun reda dan kami diajak putra Bapak Saman, Sagus untuk bermain volly di lapangan desa. Kami yang merupakan tamu pendatang sontak menjadi pusat perhatian warga desa. Tanpa basa basi kami pun main bergabung, larut dalam suasana permainan yang begitu terasa menyenangkan meskipun dengan kemampuan yang tidak begitu mahir. Sebuah bentuk sosialisasi dan kekeluargaan tercipta di antara himpitan dunia nyata yang semakin apatis. Adakalanya benar bahwa kehidupan desa lebih baik untuk memperbaiki hubungan sosial antar manusia. Permainan diakhiri begitu menjelang adzan Maghrib karena penduduk Temajuk merupakan umat muslim. Kami pun bergegas pulang meninggalkan lapangan permainan.

Kehidupan malam di Temajuk pun segera dimulai. Rumah tanpa listrik adalah bentuk ujian bagi penduduk desa. Tidak ada pembangkit tenaga listrik yang bersifat massal di daerah ini. Menurut warga, dulu memang pernah ada bantuan pembangkit listrik tenaga air, namun alat itu tidak dapat bertahan lama karena disambar petir. Kemudian sampai saat ini, pembangkit itu tak kunjung diperbaiki atau diganti oleh Pemerintah Indonesia. Sementara itu, di desa tetangga, Desa Maludin terdapat generator listrik yang digerakkan oleh angin, matahari dan diesel. Ketiga sistem itu bekerja secara otomatis dalam kondisi cuaca yang sesuai untuk menggerakkan generator itu. Misalnya ketika angin tersedia cukup maka generator itu digerakkan oleh angin. Lalu jika sinar matahari sangat terang dan cukup maka generator itu digerakkan oleh sinar surya. Jika keduanya dalam keadaan kurang baik maka generator itu digerakkan oleh tenaga diesel.

Untuk mengusir sepi, kami meramaikan keremangan di rumah dengan bermain gitar dan sebagian bermain kartu. Salah seorang dari kami pun tidak canggung menunjukkan kemampuan sulap yang dimiliki olehnya. Berbagai trik sulap yang dikuasainya dipertontonkan kepada kami dan sang tuan rumah. Muncul ekspresi riang, terkagum-kagum, tertawa lepas, dan wajah heran sedikit berpikir keras bagaimana trik itu dilakukan. Demikian kami melewati malam terkahir kami disana hingga hujan deras pun turun dan menambah dinginnya hawa sekitar. Tikar digelar dan kami pun larut dalam buaian angin malam.

Dermaga Camar Bulan
Keesokan harinya sebelum pulang, kami menuju ke jembatan Desa Camar Bulan untuk berfoto ria dengan berbagai rupa mimik wajah dan pose yang ditampan-tampankan. Pagi itu langit masih saja mendung dan angin bertiup sama kencangnya dengan pagi sebelumnya. Ada sebuah nuansa sedikit muram di angkasa yang menjadi latar belakang kami berfoto. Jika dibalut dengan keterampilan fotografi yang handal, latar belakang tersebut akan terkesan eksotis.

Puas mengambil gambar dan berfoto, kami pulang ke rumah dan mulai mengemas segala perlengkapan yang kami bawa. Tuan rumah yang khawatir kami bakal lapar di perjalanan kemudian bergegas menghidangkan mie instan. Jadilah kami makan sebelum meninggalkan Desa Temajuk.

Seorang bapak yang berbaik hati membantu kami melewati kubangan
Ada perjumpaan, ada pula perpisahan. Demikian pula dengan kunjungan kami kali ini di Temajuk. Dari awal sampai kepulangan, kami disambut dengan sangat baik oleh keluarga Bapak Saman. Membuat kaki kami terasa berat untuk digerakkan melangkah keluar dari pekarangan rumah. Namun apa boleh dikata, karena ada pekerjaan di kota kami tidak bisa berlama-lama di sana. Perjalanan yang cukup panjang pun segera dimulai melewati rute yang sama dengan rute kedatangan. Jalan masih saja dipenuhi kubangan air dan becek akibat hujan semalam. Ada saatnya kami menemui kesulitan melewati jalan penuh air dan penduduk sekitar yang melintas bersamaan tanpa sungkan membantu kami melewatinya. Padahal kenal dengan kami saja tidak. Sekali lagi, Temajuk menorehkan kesan mendalam akan fitrah manusia sebagai makhluk sosial.

Kami akan merindukan Akbar dan Keluarga di Temajuk
Semoga benar di kemudian hari Temajuk dapat diabadikan dalam sebuah gambar sebagai surga. Surga eksotis yang dapat dieksplorasi setiap sudut panoramanya. Surga yang akan menjadi agenda wajib dalam daftar kunjungan wisata.  Sebuah surga yang menawarkan keindahan alami, walau harus menempuh jalur ‘neraka’ untuk menemukannya. Semoga desa ini bisa menjadi salah satu destinasi wisata pantai, yang tentunya harus ditunjang dengan infrastruktur & akses jalan yang layak, dimana anda dan keluarga bisa dengan mudah berlibur ke sana. Akhir kata, datanglah ke Temajuk dan nikmatilah keindahan panoramanya.


Salam Petualangan,


Tihany


EKSPLORASI LINTAS UTARA – KABUPATEN KAPUAS HULU

Nama Agustinus Wibowo mungkin akrab di telinga para traveler tanah air. Suatu ketika dalam bukunya ia berkata : ” Perjalananku bukan perjalananmu, tapi perjalananku adalah perjalananmu. Masing-masing kita punya safarnama sendiri-sendiri, tapi hakikat safarnama itu adalah sama. Perjalanan adalah belajar melihat dunia luar, juga belajar untuk melihat ke dalam diri. Pulang memang adalah jalan yang harus dijalani semua pejalan. Dari Titik Nol kita berangkat, kepada Titik Nol kita kembali. Tiada kisah cinta yang tak berbubuh noktah, tiada pesta yang tanpa bubar, tiada pertemuan yang tanpa perpisahan, tiada perjalanan yang tanpa pulang.”

Sungguh dalam ia mengartikan sebuah perjalan. Lantas apa makna sebuah perjalanan bagi saya, anda, dia, dan mereka yang lain?

Kata “travel” dalam bahasa Inggris artinya melakukan perjalanan. Sedangkan dalam bahasa Perancis kata “travail” artinya kerja keras. “Safar” dalam bahasa arab adalah perjalanan sedangkan “suffer” dalam bahasa Inggris maksudnya adalah derita; penderitaan. Dan keempat makna itu rupanya terjalin padu dan rapi dalam setiap perjalanan yang dilakukan oleh seorang manusia.

Bahagianya seorang petualang itu ada dua, saat mengepak tas untuk kembali melanjutkan perjalanan dan saat mengepak tas untuk kembali pulang. Pulang, yang kemudian suatu saat akan pergi lagi. Setting tempat boleh saja berbeda, namun pristiwa “perjalanan” itu sendiri akan selalu menyertai pada kegiatan “pergi” atau “pulang” tersebut. Energi kuat saat “pergi” adalah saat ada seseorang yang berharap kita juga “pulang” kembali. Hidup di dunia itu seperti sebuah perjalanan itu. Kita hanya singgah sementara saja. Tidak ada yang kekal.

Merancang sebuah perjalanan tentu juga harus dibarengi dengan ketelitian dan cermat secara ekonomis. Mencatat semua pengeluaran kita secara detail dilakukan agar kita terbiasa bertanggung jawab pada amanah harta yang ada di tangan kita. Kemana keuar dan untuk apa ia dibelanjakan. Ini bukan kikir atau pelit. Ini adalah bahan evaluasi yang kelak kita akan pertanggungjawabkan. Apalagi bagi seorang traveler. Pengaturan uang itu pentingnya sama dengan pengaturan stamina dan dapur pacu dengkul kita. Prinsip ekonomi harus menjadi pertimbangan dengan memperhatikan kenyamanan. Tapi juga jangan sampai membuat tubuh manja dijejali fasilitas kemudahan. Karena perjalanan itu sejatinya juga cara mendidik kita dalam mengelola kepemimpinan dan sumber daya.

Begitulah sekiranya aku memaknai sebuah perjalanan. Dalam kehidupan ini, manusia terkadang melihat lebih banyak, tetapi tidak belajar lebih banyak.

Kali ini akan diceritakan perjalanan menuju objek utama, Taman Nasional Danau Sentarum. Lokasinya berada di Kabupaten paling timur di Kalimantan Barat, yaitu Kapuas Hulu. Ibu kota kabupaten ini terletak di Putussibau yang dapat ditempuh lewat transportasi sungai Kapuas sejauh 846 km, lewat jalan darat sejauh 814 km, melalui jalur lama (bukan trans Kalimantan) dan lewat udara ditempuh dengan pesawat berbadan kecil dari Pontianak melalui Bandar Udara Pangsuma. Dikutip dari Wikipedia.com Bandara ini memiliki Panjang Landasan/Arah/PCN: 1.004 x 23 m / 10-28 / 5 FCZU, tergolong Kelas IV dengan kemampuan bisa untuk mendarat jenis pesawat DHC-6 serta memiliki Terminal Domestik seluas 240 m2. Saat ini sudah ada dua maskapai yang melayani penerbangan dari Pontianak ke Putussibau, yaitu Kalstar Aviation dan Garuda Indonesia.

Mengingat bahwa perjalanan ini dilakukan dengan budget ketat, maka kami memilih jalur darat menggunakan bus umum eksekutif ber-AC milik armada CV. Perintis. Bus berangkat dari Pool Perintis di pusat pertokoan Kapuas Indah pukul 14.00 siang. Suasana di dalam bus cukup nyaman, kursi empuk, penumpang tidak berjejal, dan tentunya dilengkapi dengan pendingin udara. Jalur yang ditempuh adalah melalui jalur alternatif trans kalimantan Pontianak – Tayan – Sosok.

Yang menjadi hal pengganggu kenyamanan perjalanan kami adalah kondisi infrastruktur di wilayah Provinsi Kalimantan Barat. Kondisi jalan benar-benar memprihatinkan sehingga sering mengakibatkan puluhan kendaraan harus berjejer antri satu persatu melintasi jalan yang rusak. Jalanan menuju ke daerah pedalaman Kalbar yang penuh tantangan dan menguji ketangguhan pinggang serta pinggul akan menyisakan cerita tersendiri. Bayangkan saja, perjalanan darat dari Pontianak-Putusibau yang mencapai jarak kurang lebih 580 km via jalur alternatif Sei Ambawang (Pontianak)-Tayan-Sosok ternyata 40% dalam kondisi rusak parah. Bahkan ditengah-tengah ibukota Kabupaten sekalipun seperti di Sintang anda akan disuguhkan jalanan rusak, berdebu dan kubangan super becek kala hujan turun. Sebelas- dua belas juga dengan jalananan Bodok-Sanggau yang berselang 20 m selalu akan ada lubang dan kubangan. Jalan negara antara Sintang menuju ada beberapa titik yang mengalami kerusakan cukup serius, salah satunya yang berada di sekitar kawasan hutan lindung di Kecamatan Silat Hulu. Mungkin ini bisa jadi bagian dari komoditas wisata adventure dan jejak petualang? Mungkin!
Masyarakat perlu bersabar dengan konsep pembangunan daerah yang minim visi ini. Malu dengan negeri jiran terdekat, dimana jalan raya dari Tebedu menuju Kuching kualitasnya mirip jalan tol di Jawa, dengan letak pemukiman yang terletak menjorok ke dalam dan ter-cluster jauh dari jalan raya. Alih-alih bicara pelebaran jalan dan peningkatan kualitas jalan, yang sekarang sudah merupakan prestasi yang luar biasa dan patut disyukuri, dibanding 3-4 tahun yang lalu dimana Pontianak-Putusibau harus ditempuh hingga berhari-hari dengan kendaraan yang tak biasa pula. Sudahlah, luka lama ini jangan lagi dibahas!
Sekali lagi, kami menempuh perjalanan yang tidak mudah. Semua terasa lega ketika nampak dari kejauhan Gerbang Selamat Datang di Kota Putussibau. Melirik arloji yang melingkar, waktu menunjukkan pukul 06.12 keesokan harinya. Artinya waktu tempuh Pontianak – Putussibau sekitar 16 jam. Setara dengan perjalanan udara Jakarta (Indonesia) – London (Inggris). Spektakuler!
Sesampainya di Putussibau kami beristirahat menumpang di rumah kerabat. Kota Putussibau dengan semboyan “Bumi Uncak Kapuas” memang tidak terlalu besar dibandingkan kota Pontianak apalagi dengan kota di pulau Jawa, dengan luas sekitar 29.842 km2 dan jumlah penduduk sekitar 300 ribu jiwa, namun kota ini tampak bersih dan teratur dengan kondisi lalu lintas yang jelas jauh lebih tertib dibandingkan kota Pontianak. Kota ini relatif berkembang. Sudah terdapat bandara, RSUD, sekolah negeri maupun swasta, toko swalayan, beberapa hotel layak huni, pusat kebugaran, sarana dan gedung olahraga, rumah ibadah, rumah makan bermenu khas Kapuas Hulu, , taman alun-alun, pasar pagi tradisional, pasar inpres, dan beberapa fasilitas publik lainnya.

Sore harinya kami mengunjungi Rumah Betang Bali Gundi di Sibau Hulu dan selepas itu bermain-main dengan air Sungai Kapuas di ujung Rumah Betang itu. Penghuni Rumah Betang sangat antusias menyambut kedatangan tamu dari luar seperti kami. Anak-anak berhamburan ke teras rumah. Hampir semua penghuni Betang keluar untuk melihat siapa yang datang.

Suasana di Betang begitu nyaman, aman, sejuk dan bersih yang membuat kami dapat sedikit merenggangkan beban pikiran dari rutinitas pekerjaan dan terutama lelahnya perjalanan hari kemarin. Rumah Betang ini memiliki panjang sekitar 150 meter. Berpintu 55 (dihuni 55 kepala keluarga). Mereka dipimpin oleh seorang temanggung adat yang bertanggungjawab sebagai kepala adapt. Kepala adat mempunyai wewenang menyelesaikan perkara adat berat, seperti pembunuhan, perkelahian massal dan penyerangan-penyerangan dari kampung-kampung lain. Arsitektur Rumah Betang begitu kokoh, berfondasikan kayu ulin yang hitam mengkilat, juga berlantaikan kayu ulin yang berkualitas baik, ditambah dengan ornamen-ornamen, ukiran-ukiran gambar dan patung-patung khas Suku Dayak yang pastinya memiliki nilai-nilai tertentu. Keramahan masyarakat setempat dan Kepala Dusun Tanjung Pandan yang berbaik hati memperlihatkan pakaian yang biasanya dipakai dalam acara-acara tertentu serta memamerkan kerajinan tangan masyarakat Betang Bali Gundi. Semuanya menjadi pelengkap perjalanan tanpa rencana ini. Banyak sekali nilai-nilai religi, kultural, sosial dan edukasi di sini. Mulai dari adat istiadat yang masih kental, kemudian mengingat kembali sejarah-sejarah masa lalu yang memiliki nilai historis tentunya, sampai memaknai arti sebuah kebersamaan, dimana kerukunan dan saling pengertian menjadi modal utama untuk menjalani sebuah kehidupan.

Sebelum pulang Kepala Dusun menceritakan asal usul penamaan Rumah Betang ini. Nama Bali Gundi ternyata memiliki makna filosofis. Bali yang berarti “Membeli” dan Gundi berarti “Tempayan”. Yang jika disatukan menjadi Bali Gundi yaitu “Membeli Tempayan”. Alkisah singkatnya, pada zaman dahulu masyarakat Sibau belum memiliki rumah menetap dan hidup berpindah-pindah. Ketika dalam perpindahan tersebut ada seorang bidadari dari kayangan yang menukarkan Pulau Sibau ini dengan sebuah tempayan untuk tempat tinggal mereka. Kelak dimana tempayan itu tidak mampu lagi diangkat sewaktu berpindah-pindah, disitulah mereka membangun Betang .

Kami pun pulang berbekal sebuah pengalaman baru. Bertandang ke Rumah Betang memberikan bukti bahwa kehidupan komunal masih ada di tengah perkembangan zaman yang cenderung individualis. Kehidupan rumah betang yang menitikberatkan pada kebersamaan dan permufakatan adalah manifestasi dari nilai-nilai gotong royong yang merupakan ciri khas sosialisme Indonesia.

Malam harinya kami pun menyusun rencana keberangkatan ke Danau Sentarum. Kami mengontak kawan warga asli Lanjak untuk menyiapkan speedboat sebagai transportasi ke danau. Rupanya speedboat sudah disiapkan dua hari sebelumnya. Kontak telepon selesai dan urusan transportasi ke danau beres tanpa kendala. Giliran masalah konser di kampung tengah alias perut keroncongan yang harus diselesaikan. Hahaha..  Jadilah kami makan malam dengan lauk kerupuk basah khas Kapuas Hulu dan ikan patin asam pedas yang lezatnya bukan main. Kenyang dan puas rasanya malam itu.

Keesokan paginya, kami berenam bersiap menuju Lanjak. Setelah memeriksa keadaan motor dan mengisi bahan bakar, perjalanan pun di mulai. Waktu menunjukkan pukul 10.05. Jarak Putussibau menuju Lanjak sekitar 122 km dapat ditempuh dalam waktu kurang lebih 3 jam. Jalan aspal akan ditemui hingga wilayah Desa Apan. Selebihnya tanah kuning dan pengerasan hingga ke Mataso. Dari Mataso jalan relatif mulus hingga menuju Lanjak. Hari itu cuaca begitu cerah, tidak terlalu panas, namun tidak juga turun hujan. Kami singgah mengisi bahan bakar sekaligus beristirahat di Mataso sambil menenggak minuman pelepas dahaga. Di warung itu, orang-orang segera menyadari bahwa kami adalah pendatang. Mereka nampak celingak-celinguk memperhatikan gerak-gerik kami. Pemilik warung menghampiri kami dan memulai obrolan siang itu. Tutur katanya sopan, tanpa ada kesan intimidasi, menanyakan tujuan perjalanan kami. Dari sang pemilik warung kami mendapatkan informasi tambahan bahwa sebelum mencapai Lanjak, kami akan melewati wilayah Sungai Sedik. Disinilah terdapat sebuah air terjun kecil yang cukup menyegarkan mata. Berharganya informasi itu dan tidak kami sia-siakan.

Cukup beristirahat perjalanan kemudian dilanjutkan. Sang pemilik warung pun tersenyum dan melambaikan tangannya di depan warung sembari berpesan untuk berhati-hati di jalan. Berbekal informasi darinya kami singgah di Sungai Sedik. Benar rupanya, air terjun kecil ini begitu menyejukkan. Bagi yang ingin menuju Lanjak menyambangi Sungai Sedik tentu tidak boleh dilewatkan. Pengunjung bisa melihat keindahan air terjun dan berenang di kolam yang menampung aliran air tersebut,. Sungai Sedik mengalir  mengikuti kontur perbukitan sebelum memasuki kawasan Genting Lanjak. Gemiricik airnya bahkan terdengar dari jalan yang melaluinya. Pemandangan di sungai yang jernih dan alami ini cukup eksotis. Di bagian hulu Sungai Sedik, terdapat air terjun yang dikelilingi hijau hutan tropis. Kejernihan, kesegaran, serta melimpahnya air di kolamnya akan mengundang siapa saja untuk berenang.

Dari Sungai Sedik menuju Lanjak tidak jauh lagi. Sebelum memasuki kota Lanjak, setiap pengunjung harus melalui sebuah jalan menanjak yang dinamakan Genting Lanjak. Dari sinilah tampak Danau Sentarum dan Pulau Melayu. Pemandangan begitu eksotis sedikit mistis disuguhkan oleh sang danau dari kejauhan. Mistis disini diartikan sebagai sugesti bahwa sang danau seakan mengajak semua pengunjung untuk kesana menikmati pesonanya.

Menuruni Genting Lanjak juga tidak kalah serunya dengan pada saat menajak. Kontur perbukitan membuat jalur menurun sedikit berkelok-kelok. Namun tidak perlu khawatir kondisi jalan di Lanjak sudah mulus. Sepanjang 10 menit jalan menurun pengunjung dapat melihat panorama hutan yang begitu indah sambil sesekali melihat burung tekukur yang terbang rendah. Tanjakan dan turunan Genting Lanjak sama-sama menantang untuk ditelusuri. Setiap kelokan memacu adrenalin dan menguji kehandalan berkemudi.

Jam menunjukkan pukul 14.30 siang, kami pun sampai di rumah kawan yang sudah kami hubungi sebelumnya. Semua sudah disiapkan sehingga tidak perlu repot mengurus hal-hal selama kami di Lanjak dan menuju Danau Sentarum. Rumah kawan yang kami tempati adalah sebuah rumah panggung bercorak akulturasi Melayu dan Dayak. Hal ini nampak dari arsitektur rumah yag dibangun tinggi berjarak dengan tanah dan sirap yang digunakan sebagai atap rumah. Cukup tradisional namun nyaman. Mengingat lokasi Kota Lanjak lumayan terpencil dan kehidupan masyarakatnya yang relatif masih tradisional, keberadaan hotel mewah nyaris tidak ada. Akan tetapi, bukankah ini merupakan suatu petualangan sendiri untuk mencicipi hidup sejenak yang dekat dengan alam liar. Kendati demikian sudah banyak ditemukan hotel kelas melati di Kota Lanjak. Selain menginap di hotel, Anda juga dapat menginap di rumah-rumah penduduk yang memang sengaja disewakan untuk pengunjung maupun wisatawan.

Lanjak, adalah ibu kota Kecamatan Batang Lupar menjadi salah satu wilayah di Kapuas Hulu yang menjadi gerbang untuk memasuki pesona dan keindahan Taman Nasional Danau Sentarum. Di sini pengunjung masih bisa menemukan bukti sejarah masa silam yakni sebuah gudang logisitik pada masa penumpasan PGRS/Paraku. Masa-masa itu  menciptakan tragedi kemanusiaan yang lagi-lagi diakibatkan peta politik yang tergantung pada idealisme. Gudang terbuat seluruhnya dari seng tebal yang masih bertahan puluhan tahun kemudian masih berdiri dengan tegak kemudian difungsikan oleh militer sebagai sel untuk anggota pemberontak yang tertangkap. Melihat bangunan itu, hati kami bergidik membayangkan penderitaan yang dialami oleh mereka yang terkurung dan dibiarkan mati kedinginan, kepanasan dan kelaparan. Kita tidak bisa memutar waktu untuk memperbaiki keadaan, namun biarlah gudang itu menjadi saksi dan mengingatkan kita untuk menjadi manusia yang lebih baik kedepannya, menghargai kemanusiaan dan menjaga agar negara ini tidak lagi berada pada situasi yang membuat kita abai terhadap hak hidup orang lain.
Waktu semakin sore dan saatnya kami diajak kawan utnk masuk ke kampung. Ada pesta gawai katanya. Budaya masyarakat yang menghuni Lanjak juga dapat menjadi daya tarik lain di daerah ini. Umumnya penduduk asli Kecamatan Batang Lupar terdiri dari Suku Dayak baik sub suku Iban dan sub suku Embaloh. Kedua Sub Suku ini hingga kini masih memegang teguh adat-istiadatnya dengan tetap melaksanakan upacara-upacara atau ritual adat seperti acara Gawai.

Sungguh kebetulan kami mengunjungi Lanjak ketika digelarnya acara Gawai Dayak. Pada intinya acara Gawai merupakan wujud syukur masyarakat Dayak atas hasil panen yang telah diperoleh. Gawai di Lanjak dikemas dengan meriah. Rumah Betang dihias dengan ornamen-ornamen yang memikat mata. Kampung-Kampung sibuk mempersiapkan segala sesuatu. Beragam makanan tradisional dan sejumlah sesaji pun tak lupa disiapkan sebagai salah satu unsur penting upacara. Penganan khas berupa nasi pulut dan tuak adalah dua menu wajib dalam acara gawai. Musik tradisional pun dimainkan menambah semarak malam gawai tersebut. Kami pun ikut bersuka ria dalam suasana malam itu. Puas, kenyang, dan senang kami beranjak meninggalkan acara gawai untuk mempersiapkan keberangkatan ke danau esok harinya.

Pagi jam 06.00 setelah sarapan, kami menuju dermaga speedboat di ujung jalan pasar Lanjak. Disanalah speedboat milik kawan kami ditambatkan. Satu speedboat bisa menampung 5 orang termasuk pengemudi. Karena jumlah kami yang melebihi kapasitas maka digunakan 2 speedboat dengan susunan 4 orang/boat. Penelusuran danau pun kami mulai. Speedboat melaju dengan kencang. Suaranya meraung-raung mebleha air danau yang kehitam-hitaman. Air danau saat itu lumayan pasang. Uniknya, di musim kemarau air danau surut meninggalkan hamparan tanah kering yang berkali-kali luasnya dengan lapangan bola.Begitu keringnya air danau sehingga motor pun bisa melintasinya.

Perjalanan kami mengarungi danau, cukup membakar kulit karena teriknya matahari. Meski begitu, semua itu terbayarkan begitu melihat keindahan pemandangan. Di pinggir Danau Sentarum banyak dijumpai rumah-rumah terapung milik penduduk ataupun rumah panggung sederhana. Beberapa nelayan diatas sampan, terlihat sedang menangkap ikan. Hembusan angin pagi hari yang cukup kuat, harus diimbangi dengan keterampilan pengemudi dalam mengemudikan speedboat, bila tak mau menabrak pepohonan rawa. Dengan luas sekitar 132 ribu hektar, Taman Nasional Danau Sentarum sangat luas untuk dijelajahi.

Setelah mengarungi danau sekitar 30 menit lamanya diatas speedboat, akhirnya kami tiba di salah satu pulau yang dinamakan penduduk sekitar Pulau Melayu. Keunikan dari pulau ini adalah keberadaan Batu Beranak yang berada di atas bukit. Konon ada sebuah mitos yang sampai saat ini masih dipercaya oleh masyarakat sekitar. Mitos tersebut kira-kira seperti begini. Boleh percaya atau tidak, bagi orang-orang yang ingin menyampaikan hajat, permohonan, doa, keinginan yang belum tercapai, dan sejenis nya potonglah ranting pohon seukuran sejengkal. Kemudian berjalanan naik ke atas bukit, sambil menggenggam ranting dan mengucapkan permohonan di dalam hati. Hingga mencapai Batu Beranak, letakkan ranting tersebut di atas batu. Tinggalkan ranting tersebut untuk beberapa saat dan berjalanlah menjauh (kami disarankan turun). Dan kemudian naik lagi ke bukit. Ukur kembali ranting yang dipotong tadi. Apabila ukuran ranting bertambah panjang melebihi sejengkal maka niscaya permohonan tersebut akan terkabul. Tetapi saya belum beruntung, ranting yang saya letakkan tidak berubah sejengkal pun.

Di Pulau Melayu ini terdapat fasilitas Pondok Wisata yang bisa digunakan untuk pengunjung Taman Nasional. Tapi sayang kondisinya rusak dan tidak terurus. Dari pondok wisata pengunjung bisa dengan leluasa menyaksikan lanskap Danau Sentarum dari atas bukit.  Bagi yang sudah biasa, perjalanan ke atas memakan waktu tak sampai 15 menit, tapi bagi yang belum terbiasa, perjalanan ini bisa jadi sebuah latihan fisik. Namun semua itu terbayarkan begitu akhirnya bisa sampai keatas. Bagi yang gemar memancing, Danau Sentarum memiliki potensi ikan yang sangat kaya. Seperti misalnya ikan toman, ikan betok, ikan lais, dan lain-lain. Beruntung hari itu kami berhasil mendapat ikan toman yang berukuran cukup besar. Hasil pancingan disajikan dalam olahan yang masih asli tanpa sentuhan bumbu. Rasa ikannya lembut dan manis di lidah. Sayangnya waktu kami tak banyak. Taman Nasional Danau Sentarum yang begitu luas, hanya sempat kami lihat dari atas Pondok Wisata Pulau Melayu. Namun setidaknya, kami sudah mencicipi keindahan panorama danau beserta keanekaragaman hayatinya yang mungkin saja termasuk lengkap di dunia.

Menelusuri perairan Danau Sentarum tidak berlebihan rasanya seperti ungkapan menjatuhkan diri pada pelukan alam. Bagaimana tidak, sekejap kami  berada di tengah hamparan danau yang luas dikelilingi perbukitan nan hijau memukau. Saat-saat itu adalah pembuktian jiwa petualangan seseorang di jantung belantara Kalimantan. Di Sentarum inilah telah bersatu semua elemen keindahan flora, fauna, dan budaya dalam satu bejana  wisata. Tak hanya sekedar alamnya yang menawan, budayanya pun mempesona. Berkenaan dengan itu, promosi besar-besaran harus segera digencarkan untuk menarik wisatawan sebanyak-banyaknya berkunjung kesana. Harus diakui bahwa Danau Sentarum memang belum setenar danau-danau lainnya di Indonesia, namun ia menunggu untuk dijamah dan dieksplorasi lebih ekspansif menjadi sebuah destinasi yang layak dikunjungi warga dunia.


Salam Petualangan!

Gerbang Selamat Datang di Putussibau

Jembatan Darurat yang hampir roboh

Saat-saat Gawai

Mesin Speedboat membelah air danau

Warna Air Danau yang kehitam-hitaman karena kandungan zat tanin

Genting Lanjak, Photo Spot Danau Sentarum

Refleksi Air Danau

Thursday, November 1, 2012

GORENG-GORENGAN PONTIANAK



PISANG GORENG PONTIANAK : JAJANAN KUE TRADISIONAL YANG MENJELMA MENJADI MENU KONTEMPORER

Selain terkenal dengan Tugu Khatulistiwa, Sungai Kapuas, dan Keraton Kadariyah, Pontianak juga terkenal juga dengan berbagai kuliner khas. Bila anda berkunjung ke Pontianak, jangan lupa untuk menikmati salah satu kuliner andalannya yang lain, yaitu pisang goreng Pontianak. Sebab, pisang goreng Pontianak telah menjadi ikon wisata kuliner di kota Khatulistiwa. Pisang goreng memang merupakan salah satu makanan yang sudah akrab di kalangan masyarakat Indonesia. Ada banyak jenis pisang goreng di Indonesia. Lalu apa keistimewaan pisang goreng Pontianak ini?

Dibanding pisang goreng lainnya, Pisang Goreng Pontianak memiliki sesuatu yang unik dikarenakan adanya kremesan yang membungkus pisang goreng tersebut, sehingga akan terasa sangat renyah saat di kunyah. Namun tepung/keremesnya tidak terlalu banyak, sehingga, bentuk asli pisang masih terlihat. Pisang goreng Pontianak adalah jajanan dengan bahan dasar berupa pisang kepok yang dilapisi dengan tepung terigu, telur, dan kapur, serta dibelah hingga berbentuk kipas.

Proses penggorengan pisang goreng Pontianak dilakukan dua kali. Pisang yang digoreng matang dapat tahan hingga seharian, namun pisang yang digoreng setengah matang dapat tahan disimpan hingga 4 hari. Jadi cocok untuk dijadikan oleh-oleh bila Anda berkunjung ke Pontianak. Jika ingin dikonsumsi tinggal digoreng kembali. Selain rasa original pisang yang lezat, pisang goreng ini akan terasa lebih nikmat jika ditambah rasa coklat, susu, pandan, durian, blueberry, strawberry, kacang, nangka, mocca, selai srikaya, parutan keju dan lain-lain.

Pisang Goreng Srikaya dengan segelas kopi susu
Pisang goreng Pontianak tidak hanya terkenal di daerah asalnya, namun telah menyebar ke kota-kota lain seperti Jakarta. Ketika saya mempunyai kesempatan jalan-jalan ke kawasan Pangeran Jayakarta, Jakarta, pengunjungnya bahkan rela antri berderet-deret panjangnya untuk dapat menikmati pisang goreng ini. Ingin mencoba seperti apakah rasa pisang goreng Pontianak yang kremes ini? Beberapa pedagang pisang goreng di kawasan Jalan Gajahmada akan menjawab rasa penasaran anda.